Perguruan tinggi (kampus), berperan sebagai institusi utama dalam menyebarkan pemahaman ilmu pengetahuan yang beragam, dengan pendekatan pendidikan yang integratif dan komprehensif. Hal ini berarti bahwa berbagai aspek materi pendidikan saling berkaitan satu sama lain. Oleh karena itu, pendidikan di perguruan tinggi tidak hanya berfokus pada pengembangan kualitas kognitif dan psikomotorik saja, tetapi juga berfokus pada kemampuan individu dalam beradaptasi dengan dinamika sosial yang terjadi. Menurut Jean Piaget, pendidikan harus selaras dengan perkembangan kemanusiaan, maksudnya adalah bahwa pendidikan harus memperhatikan kemampuan individu dan perubahan yang terjadi di masyarakat, termasuk dalam konteks pada perguruan tinggi.
Eksistensi perguruan tinggi (kampus) selalu ditandai sebagai wadah untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, menjadikan masyarakat di dalamnya mampu berpikir kritis, dan dapat memberikan pandangan secara universal ketika menilai suatu hal. Kampus adalah miniatur masyarakat yang kaya akan keragaman di dalamnya. Berkumpulnya mahasiswa ataupun pendidik dari berbagai latar belakang suku, agama, ras, etnis, dan budaya, menjadikan kampus mampu berperan penting dalam memberikan pemahaman terkait dengan keberagaman.
Namun, pandangan keberagaman yang dimiliki perguruan tinggi, (kampus), akan berbeda konteks ketika kita berbicara tentang keberadaan rambut gondrong. Rambut gondrong di dalam perguruan tinggi masih sering kali menghadapi anggapan negatif. Hal ini seolah-olah mengajak kita kembali berwisata ke masa orde lama dan orde baru. Pada masa-masa tersebut, fenomena rambut gondrong kerap kali disandingkan dengan mengikuti trend barat. Pada masa orde lama, di bawah pemerintahan Presiden Soekarno, rambut gondrong dinyatakan sebagai simbol yang bertentangan dengan nilai-nilai revolusioner.
Demikian pula, pada masa pemerintahan Soeharto di era orde baru, fenomena rambut gondrong mencapai puncak popularitasnya. Pada waktu itu, trend rambut gondrong sangat berkembang di kalangan anak muda. Namun, Presiden Soeharto, dengan otoritasnya yang kuat, mengemukakan pandangan bahwa rambut gondrong dilihat sebagai bentuk pemberontakan terhadap norma-norma yang ada dan dianggap mencerminkan sikap apatis terhadap pembangunan bangsa dan negara. Akibatnya, rambut gondrong tidak hanya dikecam, tetapi juga dilarang melalui berbagai peraturan yang dilegitimasi oleh pemerintah.
Padahal, pasca pemerintahan orde baru pada tahun 1998, menuju era reformasi dari 1998 sampai hari ini, banyak dari anak muda membiarkan rambutnya gondrong sebagai identitas. Menurut Asmayadi Laki-laki dengan rambut gondrong sering kali dipersepsikan memiliki citra maskulin dan tangguh. Selain itu, mereka juga kerap dianggap sebagai individu yang pemberani, jujur, dan kreatif.
Seperti penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa keberadaan mahasiswa dengan gaya rambut gondrong di perguruan tinggi bukanlah tanpa alasan dan makna yang kuat. Salah satu manfaat memiliki rambut gondrong adalah peningkatan kepercayaan diri mahasiswa di lingkungan kampus. Hal ini dikarenakan rambut gondrong memiliki gaya penampilan yang unik dan berbeda, selain itu juga rambut gondrong sering kali diidentikkan dengan citra laki-laki yang tangguh, berani, jujur, dan kreatif. Sehingga, mahasiswa dengan rambut gondrong cenderung memiliki kepercayaan diri yang lebih tinggi karena penampilan mereka yang mencerminkan kepribadian kuat dan kemampuan untuk mengekspresikan diri secara autentik.
Namun, realitas yang terjadi di perguruan tinggi, atau kampus, terkait keberadaan mahasiswa berambut gondrong menunjukkan pandangan yang berbeda. Banyak pendidik dan petinggi kampus hingga saat ini masih memiliki stigma negatif terhadap mahasiswa yang memilih untuk berambut gondrong. Terutama mendekati perayaan wisuda, pandangan negatif ini semakin menguat. Para pendidik dan petinggi kampus sering kali berasumsi bahwa mahasiswa berambut gondrong adalah individu yang tidak rapi dan sulit diatur.
Pandangan ini tentu saja kontadiktif dengan perguruan tinggi sebagai sarana untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan mendorong masyarakatnya untuk berpikir kritis, serta memberikan pandangan secara universal dalam menilai suatu fenomena. Perguruan tinggi yang seharusnya menjadi tempat di mana keragaman ekspresi diri diterima dan dihargai, bukan justru dibatasi oleh stereotip dan asumsi negatif.
Oleh sebab itu, sangat penting bagi perguruan tinnggi (kampus) untuk menganalisis ulang pandangan mereka terhadap mahasiswa berambut gondrong dan menghapus stigma negatif yang melekat. Pendidikan perguruan tinggi yang bersifat inklusif hingga menghargai keberagaman tentu tidak hanya berfokus pada kualitas akademisi saja, melainkan juga bagaimana perguruan tinggi mampu menciptakan lingkungan yang mendukung kebebasan berekspresi mahasiswa. dengan demikian, perguruan tinggi tentu dapat berfungsi secara benar sebagai wadah dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, mendorong pemikiran kritis, hingga mengapresiasikan keberagaman pandangan ketika menilai suatu fenomena.
Profil Penulis :
Nama : Edi Yarta HakimAlamat : bayan, kel. Gerunung, kec. Praya, kab. Lombok Tengah, prov. NTB
Mahasiswa Universitas Islam Negri Mataram.
Lebih lengkapnya cek ig@Yartaedi