Nama sekolah ini begitu perkasa, Tambora. Letusan 1815 mengubah iklim dunia. Hingga berpengaruh pada kekalahan Napoleon yang hendak menaklukkan dunia. Kalah karena bencana iklim, kelaparan, gagal panen dan cuaca ekstrem. Tambora juga mengubah desa-desa di kakinya. Mengubur kerajaan Tambora, kerajaan Pekat dan kerajaan Sanggar. Kini desa-desa di kaki Tambora kembali bangkit setelah letusan 200 tahun silam. Manusia datang dari berbagai penjuru daerah. Mereka menjadi pendukung lereng Tambora.
Ada empat nama resmi yang kini memakai nama Tambora : Taman Nasional Gunung Tambora, Geopark Tambora, Kecamatan Tambora Kabupaten Bima dan SD Tambora. SD ini ada di paling ujung Desa Oi Bura, Kecamatan Tambora, Kabupaten Bima. Berada di paling ujung jalur pendakian Gunung Tambora melalui jalur Pancasila. Berbatasan langsung dengan hutan Gunung Tambora. SD ini dikelilingi sisa-sisa kejayaan pabrik kopi yang pernah berjaya membawa nama Tambora. Pabrik itu juga yang membawa orang datang dari Lombok, Bali, Flores. Membentuk kampung baru berbahasa Sasak, Bali, Mbojo dan Flores. Satu desa tiga agama. Satu desa empat suku.
Di sekolah mereka berbaur sebagai siswa SD Tambora. Mereka adalah orang Tambora. Kesukuan dan agama hanya identitas yang mungkin tercantum jika kelak mereka disensus dan membuat KTP. Mereka adalah anak-anak Tambora yang lahir, sekolah dan besar di rahim Tambora. Nasib mereka tak se-agung nama Tambora. SD ini adalah sekolah paling memprihatinkan. Sekolah ini hanya memiliki satu guru negeri yang diutus oleh pemerintah. Kepala sekolah seorang diri yang tinggal di Labuhan Kananga, pesisir kaki Gunung Tambora. Selebihnya adalah guru honorer. Kepala sekolah memaklumi jika mereka tidak bisa hadir setiap hari ke sekolah. Karena sekolah tak bisa memberikan banyak untuk mereka. Janganlah menyebut gaji, karena untuk menghidupi sekolah ini dengan kegiatan belajar mengajar yang layak setiap hari juga begitu berat.
Kegiatan anak-anak SD Tambora bersama teman-teman relawan literasi. Semua semangat membaca. Tak terpikir lagi keterbatasan yang ada.
***
Tapi anak-anak Tambora tak pernah kehilangan semangat. Datang belajar dan bermain ke sekolah. Sudah tak terbilang berapa relawan yang pernah hadir ke sekolah ini. Kami adalah salah satunya. Kami sekadar membawa buku bacaan. Agar anak-anak bisa membaca, mengetahui dunia di luar sana dan menambah pengetahuan lewat bacaan.
Kami tak berekspektasi tinggi dengan cara tersebut. Ini hanya bagian kecil dari proses belajar di sekolah. Buku bacaan yang kami bawa hanya sedikit membantu untuk meningkatkan pengetahuan dan minat adik-adik Tambora. Selebihnya menjadi tanggung jawab semua pihak. Pemerintah daerah, pemerintah kecamatan, pemerintah desa, guru-guru dan tentu saja para politisi. Karena dengan tangan mereka, bisa menandatangani anggaran yang berpihak pada pendidikan. Dengan suara mereka bisa menuntut agar guru ditempatkan di Tambora. Dengan dana pokir mereka yang puluhan bahkan ratusan miliar, bisa memperbaiki mutu SD Tambora.
Kedatangan para relawan membawa buku bacaan untuk anak-anak SD di salah satu tempat di Tambora
SD Tambora selalu terbuka dengan siapa saja. Relawan yang datang disambut hangat. Hujan yang mengguyur Tambora saat kami tiba tak menyurutkan semangat adik-adik. Hanya bermain hujan mereka dilarang. Karena ibu guru khawatir jika mereka sakit. Tak ada fasilitas kesehatan di tempat mereka. Butuh turun gunung ke fasilitas terdekat. Melewati jalan tanah dan hutan.
***
“Pak guru apakah boleh kami membuka buku ini?”
Anak-anak Tambora memegang buku yang kami bawa. Diletakkan di atas berugak yang menjadi “ruang guru”.
“Boleh”.
Anak-anak yang berebutan buku bacaan yang dibaawa oleh teman-teman relawan.
Anak-anak berebut membuka buku, naik di atas berugak dan mengambil beberapa buku. Hingga ada yang bersitegang karena rebutan. Ibu guru memenangkan. Anak-anak membawa buku. Yang serius masuk kelas dan duduk di bangku. Ada pula yang duduk di warung, duduk di halaman dan ada yang berdiri. Ada pula yang berlari berkejaran membawa buku. Ada yang membaca nyaring. Ada yang sekadar membolak-balik halaman. Ada yang meraba sampul buku yang keras. Ada bercakap menggunakan bahasa Mbojo. Emak-emak yang jualan di pojokan sekolah bercakap bahasa Sasak.
Riuh suasana sekolah hingga kemudian hujan lebat turun kembali. Buku diamankan kembali. Anak-anak ingin bermain hujan. Ibu guru melarang. Puskesmas jauh dari kampung ini. Melewati jalan tanah yang licin. Anak-anak harus sehat. Tidak boleh sakit. Besok harus masuk sekolah. Walaupun mungkin hanya satu dua orang guru yang masuk sekolah.
Penulis :
Fathul Rahman
Jurnalis sejak 2008. Banyak menulis isu lingkungan, pariwisata, budaya, dan sosial. Pernah mengikuti program International Media Visit 2017 ke Australia. Beberapa kali mengikuti kegiatan di berbagai daerah di Tanah Air. Beberapa kali menerima hibah liputan jurnalistik. Beberapa karya jurnalistiknya bisa dibaca di www.mongabay.co.id Saat ini menjadi relawan di Sekolah Literasi Rinjani. Bisa dikontak di media sosial FB/IG @FathulRakhman, Tiktok @Jajarkarang01