Putri Tambora

Picture of Fathul Rakhman

Fathul Rakhman

Penulis :

Fathul Rahman

“Dulu keponakan saya sekolah, jam 9 pagi dia sudah bermain di rumah. Pulang. Tidak ada gurunya”.

– Novi Antika, guru honorer SD Tambora –

Suatu hari Novi pulang liburan dari kampus. Ia kuliah di Universitas Muhammadiyah Mataram butuh perjalanan sehari penuh untuk sampai ke rumah. Naik bus dari terminal Mandalika turun di Desa Kadindi. Jika tidak ada bus langsung turun di cabang Banggo – Manggelewa lalu melanjutkan ke arah kaki Gunung Tambora. Dari sana dia kadang dijemput atau nebeng, naik motor ke kampung halamannya di Desa Oi Bura, Kecamatan Tambora, Kabupaten Bima.

Saya pernah ke sekolah itu tahun 2015. Saat itu tembok sekolah masih berwarna cerah, baru selesai dicat. Untuk sekolah pelosok, bangunan sekolahnya sangat bagus. Sangat kontras dengan rumah-rumah warga yang saya temui, rumah kayu.

Saya kembali pekan ini, 2023, kondisi sekolah sudah banyak berubah. Sayangnya, perubahan itu bukan menjadi lebih baik. Tapi semakin jelek. Tembok sekolah sudah kusam. Atapnya miring. Plafon sudah bolong. Pagar pembatas tinggal separuh.

Yang tidak berubah hanya satu : setiap saya ke sekolah ini tidak pernah menemukan guru penuh. Artinya jika ada 6 rombongan belajar, minimal ada 7 guru yang harus ditemui, guru kelas dan kepala sekolah. Saya hanya menemui kepala sekolah dan dua guru honorer. Tahun 2015 begitu. Tahun 2023 juga begitu. Jika dulu guru yang saya temui laki-laki, sekarang perempuan.

***

Namanya Novi Antika. Berkulit sawo manis. Murah senyum dan penuh dengan cerita, jika kita bertanya tentunya.

Novi adalah putri tambora. Lahir dan besar di kaki Gunung Tambora. Kampung halamannya adalah ujung batas desa, yang langsung berbatasan dengan taman nasional gunung Tambora. Kondisi jalan tidak berubah. Jalan tanah. Sangat licin ketika musim hujan. Kadang menjadi aliran sungai jika hujan lebat.

Dia bersekolah di SD Tambora. Saat itu kondisi sekolah cukup bagus. Kata Novi, itu saat bangunan sekolah ini belum lama jadi. Selama 17 tahun terakhir, mungkin saat Novi sekolah, bangunan sekolah ini sangat bagus. Tapi saat itu belajar mengajar tidak jauh berbeda dengan saat ini.

Saat ini ada satu guru PNS di SD Tambora. Seorang kepala sekolah. Rumahnya di Labuhan Kananga. Kepala sekolah ini dulunya guru olahraga. Pernah mengajar Novi. Setelah lulus SMP dan SMA, Novi kuliah di Mataram. Jika libur semester Novi pulang kampung untuk membantu orang tua di ladang dan mengajar di sekolah ini.

Novi yang selalu berusaha hadir setiap hari untuk mendampingi siswa dalam belajar

Jika libur tahun ajaran baru sudah tiba, Novi lebih lama di kampung. Mengajar. Alasannya sederhana : dia tidak ingin anak-anak di kampungnya jam 9 pagi sudah bermain di rumah. Dengan tambahan tenaga dari Novi, anak-anak bisa lebih sedikit lama di sekolah.

Novi sadar dengan kondisi sekolahnya. Dengan hanya satu orang pegawai negeri, kepala sekolah sendiri, tentu harus mengangkat guru honorer. Dengan jumlah siswa di data dapodik 63 orang, tentu saja sedikit menerima BOS. Dengan kondisi warga yang miskin – bahkan ada satu kampung yang disebut kampung KAT, mereka bisa punya rumah setelah dibangun oleh dinas sosial – tidak mungkin menarik iuran sekolah. Anak anak mau bersekolah saja sudah syukur. Dulu ketika musim berladang dan panen, anak-anak ikut. Tidak masuk sekolah cukup lama. Sekarang anak anak lebih banyak waktu di sekolah.

Karena serba terbatas itu, tidak memungkinkan memaksa semua guru honorer masuk setiap hari. Pagi sampai pulang sekolah. Yang menjadi honorer, lebih tepatnya sukarela, sering mencari pekerjaan lain. Menjadi petani, usaha perdagangan agar memiliki modal untuk berangkat ke sekolah. Jika tidak bekerja, maka bisa dipastikan para guru tidak akan memiliki biaya untuk berangkat mengajar ke sekolah.

Novi tidak enak menyebut berapa gaji guru di sini. Saya menyebut beberapa angka. Biaya sekali makan dan minum di warung yang kini didemo itu sama dengan gaji sebulan di sekolah itu. Itu pun diberikan sekali enam bulan. Guru bisa minus jika tiap hari ke sekolah.

**

Novi tiap hari ke sekolah. Dia bersyukur rumahnya dekat dari sekolah. Bisa jalan kaki. Melewati jalan tanah. Berlumpur ketika musim hujan. Kadang numpang naik motor. Novi merasa bisa seperti saat ini berkat SD Tambora. Tinggal di perkampungan terpencil, mimpi bagi Novi bisa bersekolah hingga tamat kuliah. Dia ingin mengabdikan ilmunya pada sekolah yang membuka wawasannya.

Fasilitas belajar mengajar di sekolah juga terbatas, hanya papan tulis. Ruangan kelas pun tidak memiliki bangku dan meja yang lengkap. Buku usang yang ada di sekolah adalah sumbangan dari berbagai relawan yang pernah datang ke sekolah.

Kondisi sekolah membuat banyak prihatin. Tapi tidak akan mengubah banyak jika kebijakan belum berpihak pada sekolah ini. Novi sadar dari desa pun tidak akan bisa berbuat banyak. Karena di Desa Oi Bura, ada tiga sekolah, kondisinya tidak jauh berbeda. SD Tambora yang paling parah.

Kondisi sekolah tempat Novi mengajar cukup memprihatinkan

**

Nama sekolah ini menyandang nama besar. Bersama-sama dengan nama Taman Nasional Gunung Tambora yang diresmikan Presiden Jokowi pada tahun 2015. Geopark Tambora, Kecamatan Tambora adalah nama-nama yang memakai nama gunung yang letusannya konon membuat takluk Napoleon di Prancis sana.

Novi tahu kebesaran nama Tambora. Novi juga sadar nama besar Tambora itu tidak membuat SD Tambora semakin baik. Justru kondisinya semakin parah. Tapi Novi tidak berputus asa. Dia tetap masuk setiap hari. Mengajar membaca dan menulis. Kelak siapa tahu satu diantaranya anak-anak SD Tambora ini akan menjadi orang hebat. Lalu pulang kampung mengubah Tambora menjadi lebih maju.

Mari dukung Novi mewujudkan mimpinya itu….

Profil Penulis :

Fathul Rahman


Jurnalis sejak 2008. Banyak menulis isu lingkungan, pariwisata, budaya, dan sosial. Pernah mengikuti program International Media Visit 2017 ke Australia. Beberapa kali mengikuti kegiatan di berbagai daerah di Tanah Air. Beberapa kali menerima hibah liputan jurnalistik. Beberapa karya jurnalistiknya bisa dibaca di www.mongabay.co.id
Saat ini menjadi relawan di Sekolah Literasi Rinjani. Bisa dikontak di media sosial FB/IG @FathulRakhman, Tiktok @Jajarkarang01

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top