Ngahwe Sebagai Identitas Ramahnya Masyarakat Sasak Sampai Merebaknya Kedai Kopi
Reza Hamzani
Penulis :
Reza Hamzani
Kata “ngahwe” (mengopi) sekarang mulai agak jarang digunakan oleh masyarakat Sasak untuk mengajak tamu mengopi, tapi tradisi menjamu tamu dengan kopi sebagai pembuka obrolan masih melekat dalam keseharian masyarakat Sasak. “Apapun obrolannya, kahwe minumannya”. Hal itu bisa kita lihat ketika bertamu, terutama ke kampung-kampung. Baru berucap “Assalamu’alaikum” misalnya, dan pemilik rumah menjawab “Wa’alaikumussalam” tamunya akan langsung disuruh duduk di berugak (semacam teras bambu tempat menerima tamu yang terpisah dengan rumah utama) atau sekarang di teras dan ruang tamu, lalu tuan rumah akan melipir ke belakang, bukan untuk meninggalkan tamunya, melainkan untuk menyajikan kopi.
Kalau pemilik rumah sudah berkeluarga (misal penerima tamu adalah laki-laki) maka ia tak perlu meninggalkan tamunya, ia bisa memanggil istri atau anaknya dengan sebut nama saja. Dan sang istri atau anak sudah paham tanpa perlu diberi perintah dengan kalimat yang jelas; artinya dia disuruh membuat kopi untuk menjamu tamu.
Dari hal itu kita bisa melihat bahwa masyarakat Sasak sudah terbiasa menjamu tamu dengan kopi, terbukti dengan tanpa diberi instruksi yang jelas, mereka langsung paham makna dari panggilan tersebut.
***
Kata “Ngahwe” adalah sempalan dari kata “Qohwah” yang diserap dari bahasa Arab yang berarti kopi itu sendiri. Hal ini juga mengindikasikan bagaimana masyarakat Sasak sudah sejak lama bersetuhan atau setidaknya dekat dengan pusat peradaban agama Islam (Arab): agama mayoritas suku Sasak Lombok; suku mayoritas yang mendiami Lombok. Juga sebagai bukti otentik bahwa masyarakat Sasak sudah cukup lama menjadi muslim; setidaknya mengenal Islam. Dalam referensi yang cukup valid adalah sejak Sunan Prapen menyebarkan Islam di Lombok yakni sekitar tahun 1545 M.
Sebagai catatan, persentuhan masyarakat Sasak dengan kopi sudah lama, bisa dibilang sejak pedagang Arab menginjakkan kaki di Nusantara, termasuk di Lombok (pra kolonial). Walau memang pada beberapa literatur disebutkan bahwa kopi mulai ditanam pada era kolonial sekitar abad 17 M, tapi kebiasaan minum kopi sudah berlangsung sebelum itu.
Kemudian, menjamu tamu dengan kahwe menjadi salah satu praktek keislaman masyarakat Sasak dalam mengekspresikan nilai-nilai agama Islam yang salah satu perintahnya adalah “memuliakan tamu”. Nilai itu mengakar hingga hari ini sampai-sampai menjadi identitas keramahan masyarakat Sasak.
“Ngahwe juluk atau ngupi juluk,” adalah bentuk kalimat ramah-tamah yang tentunya tidak asing dalam kebiasaan masyarakat Sasak dahulu dan sampai saat ini.
Untuk cita rasa kopi itu sendiri, akan terasa asing bagi orang luar masyarakat Sasak, semisal wisatawan (domestik maupun mancanegara). Karena kopinya dicampur dengan beras. Kenapa beras? Tentu hal itu punya tujuan, diantaranya:
Untuk Mengurangi Rasa Pahit Kopi
Mencampur kopi dengan beras menjadi salah satu cara masyarakat Sasak mensiasati rasa pahit pada kopi, karena kopi yang tumbuh dominan di wilayah Asia Tenggara secara umum, terkhusus di pulau Lombok adalah jenis kopi robusta dengan karakter rasanya yang dominan pahit. Maka mencampur kopi dengan beras saat disangrai atau diroasting menjadi alternatif solusi untuk mengurangi rasa pahit kopi. Sebab beras juga mengandung sedikit rasa manis alami.
Belakangan ini mulai berinovasi, mencampur kopi dengan biji kakao, karena kakao juga banyak tumbuh alami di tanah Lombok. Ini menjadi salah satu tradisi lokal masyarakat yang memiliki daya jual (terutama pada wisatawan Eropa, wisatawan yang dominan liburan ke Lombok), dan beberapa pelaku wisata hari ini sudah menjadikannya sebagai paket wisata edukasi dalam konteks “Human Society”, contohnya paket wisata “Kopi Siong Kete” yang ditawarkan oleh pelaku wisata di desa Kembang Kuning, kabupaten Lombok Timur. Secara garis besar proses menyangrai kopi dengan campuran beras menggunakan wajan berbahan tanah liat, kayu bakarnya adalah kayu kopi itu sendiri. Ini dipercaya oleh masyarakat Sasak akan memberikan aroma dan rasa yang lebih kuat. Kadang juga ditambahkan irisan daging kelapa tua sebagai penambah aroma, dan semua bahan tadi disangrai sampai gosong, ya serupa arang lah.
Sebagai Pendamping Sarapan
Ada ungkapan dalam bahasa Sasak “mun te wah ngahwe je ye wah cukup jeri penyapah”, bila kita terjemahkan kedalam bahasa Indonesia artinya “kalau kita sudah ngopi, sudah cukup sebagai sarapan”. Kenapa ada ungkapan semacam itu? Ya, karena tadi, kopinya sudah dicampur dengan beras yang juga mengandung karbohidrat. Yaa kopi beras ini katakanlah semacam minuman sereal. Jadi, tidak perlu lagi sarapan menggunakan nasi dan jajarannya.
Cara Memperbanyak Stok Kopi Bubuk
Pulau Lombok berukuran kecil bila dibandingkan dengan pulau-pulau penghasil kopi lainnya di Indonesia, Sumatera misalnya atau Jawa, Sulawesi dan Papua. Mungkin hanya seukuran salah satu provinsi diantara pulau besar tersebut. Hal ini tentu menjadikan lahan tanam kopi sedikit. Kopi yang tumbuh di Lombok hanya di sekitar area pinggir hutan lingkar Rinjani. Hanya pada batas-batas vegetasi antara pemukiman dan perkebunan masyarakat lingkar hutan dengan hutan Taman Nasional Gunung rinjani (TNGR). Berpenduduk sekitar tiga juta orang lebih per tahun 2023; dengan penduduknya yang dominan laki-laki pengopi; dengan ukuran pulaunya yang kecil; kemudian komoditas yang ditanam berbagai jenis dalam satu lahan yang sama (polikultur) menjadikan kopi di Lombok sedikit jumlahnya. Belum lagi jarang ada petani yang memang focus bekerja sebagai petani kopi juga menjadi faktor pendukung kurangnya hasil kopi di pulau mungil ini. Hanya kopi yang tumbuh alami yang kemudian dipanen buahnya. Itupun kopi lokal, yang pohonnya tinggi-tinggi tapi tidak terlalu produktif. Kalaupun berbuah, bijinya kecil-kecil, dan panennya terbilang hanya sekali setahun.
Atas dasar inilah stok kopi di Lombok sedikit. Maka mencampur kopi dengan beras adalah salah satu alternatif solusi masyarakat Sasak untuk memperbanyak stok kopi dan memperlama durasi ngopi. Ya, masyarakat Lombok ingin tetap merasakan sensasinya ngahwe sepanjang tahun sampai tiba masa panen berikutnya.
***
Ada beberapa pergeseran dalam konteks sekarang soal dunia perkopian di Lombok. Misalnya, mungkin hari ini alasan dalam poin nomor tiga diatas sudah mulai perlahan ditinggalkan, ditandai dengan bermunculannya kedai-kedai kopi atau coffee shop yang ramai menjual kopi tanpa ada campuran; tanpa gula, manual brewing ataupun dengan mesin. Mulai dari artisan sampai yang kata orang spesialti. Dan itu tidak apa-apa, karena sekarang meski stok kopi di Lombok sedikit, orang-orang mendatangkan kopi dari luar Lombok, akses antar pulau sudah mudah, tidak seperti dulu.
Juga beras sekarang dengan beras dulu jauh berbeda. Kalau dulu beras berlumbung-lumbung di simpan diatas berugak, sekarang lahan tanam padi semakin sedikit, dan hasil panen juga kadang banyak, lebih sering sedikit, tapi penduduk semakin banyak mempengaruhi produksi kopi beras. Selain itu, kesadaran dari sisi kesehatan juga, karena kopi beras sudah manis oleh beras yang mengandung glukosa, lagi dibubuhi gula pasir yang terkadang manisnya gak ketulungan.
Fenomena kedai kopi yang merebak sampai ke kampung-kampung dalam 4 tahun terakhir terhitung pasca covid-19 di Lombok jelas membawa dampak positif, diantaranya: seperti yang disebutkan diatas adalah kesadaran akan kesehatan dari prilaku ngopi yang dulu kurang baik untuk kesehatan, lalu berkurangnya pengangguran serta meningkatnya pendapatan ekonomi terutama di kalangan anak-anak muda. Juga bermunculannya petani-petani kopi yang diinisiasi oleh anak muda. Mereka mengelola lahannya dengan menanami kopi yang dirawat dengan harapan hasilnya akan sesuai dengan permintaan pasar yang distandarisasi kedai kopi, proses pasca panen standar SCAA (Specialty Coffee Association of America) agar menghasilkan kopi dengan rasa yang spesial saat dicupping. Juga munculnya banyak pelatihan yang digagas pemerintah sebagai upaya meningkatkan kapasitas SDM masyarakat Lombok sendiri untuk mengenal kopinya; untuk mengenal kopinya maka perlu dulu mengenal lahan tanamnya, tumbuhan apa yang ada disekitar lahan tanam kopi. Karena kopi bisa menyerap rasa dari tumbuhan sekitarnya, lalu akan menggali sejarahnya. Ya, semacam multiflayer effect positif.
Namun, sisi lain yang perlu diperhatikan juga adalah; apakah beberapa puluh tahun mendatang tradisi lokal yang arif (ngahwe) ini akan masih tetap ada dan melekat sebagai identitas kesasakan orang Sasak yang dikenal ramah?
Musabab, satu sisi dari bermunculannya coffee shop atau kedai-kedai kopi yang sampai menyentuh kampung-kampung terdalam ikut “menjual kopi” yang itu bisa saja menjadi ancaman hilangnya tradisi lokal yang arif ini. Dalam Bahasa yang agak sedikit terdengar kasar bisa kita katakan: “bermunculannya kedai-kedai kopi yang sampai menyentuh kampung-kampung terdalam ini akan membawa masyarakat Sasak pada sifat pelit”. Rasa parno terhadap hal ini mungkin masih terdengar aneh dan naif saat ini, tapi tidak tahu beberapa tahun mendatang. Siapa yang tahu? Tapi yang jelas keparnoan ini mulai menunjukkan wujudnya di dalam masyarakat pelaku kopi, misal sebagai pengusaha kedai kopi tidak bisa memposisikan diri antara menjadi penjual kopi dengan menjadi tuan rumah yang menjamu tamu dengan kopi. Dan ini terjadi justru pada masyarakat di kampung-kampung yang menjadi pengusaha kopi, mungkin karena rumah dengan kedai kopinya satu tempat. Jadi kelolosan tidak bisa membedakan atau memposisikan dirinya.
Bagaimana caranya agar ngahwe ini tetap lestari, berikut dengan keramahannya orang Sasak ini tetap terpatri?
Apakah keramahan ini akan masih ada dalam waktu beberapa tahun kedepan walau kedai kopi terus-terusan bermunculan?
Apakah kita masih bisa menikmati kahwe gratis lengkap dengan paketan obrolan di berugak atau ruang tamu?
Profil Penulis :
Reza Hamzani, seseorang yang senantiasa berusaha meniatkan seluruh rihlah hidup sebagai ibadah. Kopi, buku dan petualangan sampai catatan ini dibaca masih menjadi sesuatu yang mengiringi langkah kecilnya hingga menjelma suatu jalan yang mencukupi kebutuhan ekonominya. Sering bertemu orang baru dengan beragam latar, menuntunnya tuk membuat sebuah wadah yang menampung segala bentuk kepuasan dan keputusasaan yang ia beri nama Ruang Reparasi: ruang dan tempat untuk mereparasi pakaian, pikiran juga perbadanan.
Ngahwe Sebagai Identitas Ramahnya Masyarakat Sasak Sampai Merebaknya Kedai Kopi
Kata "ngahwe" (mengopi) sekarang mulai agak jarang digunakan oleh masyarakat Sasak untuk mengajak tamu mengopi, tapi tradisi menjamu tamu dengan kopi sebagai pembuka obrolan masih melekat dalam keseharian masyarakat Sasak. "Apapun obrolannya, kahwe minumannya". Hal itu bisa kita lihat ketika bertamu, terutama ke kampung-kampung. Baru berucap "Assalamu'alaikum" misalnya, dan pemilik rumah menjawab "Wa'alaikumussalam" tamunya akan langsung disuruh duduk di berugak (semacam teras bambu tempat menerima tamu yang terpisah dengan rumah utama) atau sekarang di teras dan ruang tamu, lalu tuan rumah akan melipir ke belakang, bukan untuk meninggalkan tamunya, melainkan untuk menyajikan kopi