Surga ditutup Sementara; Lahirnya Pembunuh Pertama

Picture of Ali Sodikin

Ali Sodikin

Penulis :

Ali Sodikin

Adam dan Hawa melanjutkan kehidupan dan kisah cintanya di Bumi. Mau tidak mau mereka berdua harus belajar banyak, saling mengerti satu sama lain dan yang tak kalah  penting mereka berdua harus bertahan hidup di tengah kondisi bumi yang saat itu masih dihuni mahluk-mahluk besar nan buas. Setelah diturunkan ke bumi, Adam dan Hawa berpisah cukup lama. Mereka diturunkan secara terpisah, tepatnya sengaja untuk dipisahkan agar mereka bisa belajar memahami sifat dari diri masing-masing. Mereka dipisahkan juga agar mereka bisa menyesuaikan diri dengan tempat tinggal baru mereka. Juga ketika pada akhirnya nanti mereka dipertemukan (sungguh sebuah kebetulan yang luar biasa ketika mereka bisa bertemu kembali. Dengan luasnya Bumi dan buasnya alam saat itu) kembali, mereka punya pengalaman pribadi untuk diceritakan satu sama lain. Sungguh sebuah cerita petualangan yang penuh makna.

Setelah Adam dan Hawa bertemu, mereka akhirnya memutuskan untuk menetap di satu tempat saja. Karena mereka berpikir untuk beranak-pinak di sana. Akan sangat kewalahan jika kehidupan yang mereka jalani dihabiskan di perjalanan menelusuri bumi.

Tahun demi tahun, anak-anak mereka lahir dan pelan telah tumbuh dewasa layaknya anak-anak di masa sekarang. Kelahiranya pun tergambar begitu istimewa, sebab dalam sekali melahirkan, Hawa dengan ajaib selalu melahirkan anak kembar. Satu lelaki, dan satunya lagi perempuan; dengan  keterbatasan ilmu medis (boro-boro fasilitas medis, pengetahuan tentang hal itu saja sepertinya belum ada) pada tahun tersebut. Sekali lagi, fenomena melahirkan yang dialami Hawa sungguh ajaib; ia selamat dengan banyaknya keterbatasan pada saat itu.

Dua kali sudah Hawa melahirkan, dengan jarak waktu yang tidak terlalu jauh. Keempat anaknya tumbuh sehat, cantik dan juga gagah. Semasa kecil keempat anak itu dibesarkan dengan penuh kasih sayang. Perhatian yang diberikan Adam dan Hawa kepada anak-anaknya sangatlah besar. Mereka berdua mendidik dan mengajarkan kepada anak-anaknya segala apa yang mereka berdua tahu dan pernah alami semasa melakukan perjalanan menjelajahi bumi dengan misi pencarian satu sama lain. Mulai dari cara berburu, memperlakukan hewan buruan, hingga cara menyantap hewan buruan, mereka ajarkan kepada anak-anaknya. Selain berburu, mereka berdua juga mengajari anak-anak mereka tentang bagaimana cara bercocok tanah, agar kehidupan mereka tidak bergantung pada kegiatan berburu saja. Mereka menanam kacang-kacangan, sayur dan beberapa jenis buah. Tentunya bukan termasuk buah yang mengakibatkan mereka berdua terusir dari surga.

Kehidupan keluarga mereka berjalan begitu harmonis dan sangat cocok dijadikan contoh bagi kehidupan di masa-masa berikutnya. Namun pada suatu ketika, Adam dan Hawa bingung jika suatu saat anak-anak mereka ingin memiliki keturunan sendiri. Adam dan Hawa berpikir sangat keras untuk mencari Solusi atas permasalahan tersebut. Karena hal tersebut Adam seringkali terlihat murung, menyendiri di bawah pohon apel tak jauh dari kediaman sederhana miliknya. Hawa selaku pasangan yang cintanya sudah ia habiskan untuk Adam, mau tidak mau harus merasakan apa yang sedang dirasakan kekasihnya itu. Ia juga turut memikirkan solusi atas masalah yang sedang mereka hadapi.

Pada suatu malam Adam berdo’a kepada Tuhan, merayu Tuhan, meminta maaf dengan penuh rasa malu sebab teringat kesalahan besar yang pernah ia perbuat. Dengan hati yang serendah-rendahnya, Adam memberanikan diri untuk mengadukan beban pikirannya saat itu. Padahal tanpa ia mengadupun, Tuhan sudah mengetahui apa yang sedang ia alami. Tuhan akhirnya dengan kasih-Nya yang begitu luas, memberikan Adam jalan terbaik untuk permasalah yang sedang ia hadapi.

Ke esokkan harinya Adam mengabarkan kepada Hawa apa yang Tuhan perintahkan kepadanya. Ia tak berani untuk tidak mengikuti perintah itu, karena takut murka Tuhannya, begitu juga dengan Hawa. Karena jika dipikir-pikir dengan seksama, menikahkah anak-anaknya dengan saudaranya adalah satu-satunya jalan keluar jika ingin memperluas keturunan mereka. Tak mungkin juga Adam menikahkan anak-anaknya dengan seekor kera, karena hal itu pasti akan merusak garis keturunan di masa mendatang. Atau mungkin menikahkah anak-anaknya dengan tumbuh-tumbuhan, semisal kacang, pohon apel atau mungkin pohon kurma. Sejarah akan sangat menggelikan jika hal itu terjadi.

Mendengar keputusan yang disampaikan kedua orang tuanya, semua anak-anak Adam dan Hawa tak bisa menolak. Kecuali salah satu anaknya yang secara tak terduga berani menentang Keputusan tersebut, dengan penolakan yang sangat keras. Karena menurut si anak, perjodohan tersebut tidaklah adil sama sekali. Kenapa ia tidak dinikahkan saja dengan saudarinya sendiri (pasangan kembarnya), bukan dari adik perempuannya (bukan pasangan kembarnya). Ia tidak mencintai pasangan dari perjodohan itu. Ia mencintai dan ingin menikah dengan saudari kembarnya. Ia akhrinya memberontak. Ia pergi dari rumah. Sejenak mencari ketenangan diri.

Ketika si anak pergi dari rumah (sepertinya kosa kata ‘minggat’ belum ditemukan saat itu), bisik-bisikan mulai terdengar masuk sampai ke dalam jiwanya. Bisikan yang sepertinya taka sing bagi dirinya. Suara yang hampir persis sama dengan suaranya sendiri. Suara ajakan untuk melakukan penolakan dan pembangkangan atas perjodohannya. Si anak lalu berusaha untuk mengajak suara bisikan itu mengobrol. Ia berpikir tak salah jika mengobrol dengan suara bisikan tersebut, meski ia tidak mengetahui secara pasti siapa dan mahluk seperti apa yang akan ia ajak berbicara. Karena jika diingat-ingat, hanya mereka berenamlah manusia di bumi pada saat itu.

“Siapa kau wahai suara yang menemaniku?” tanya si anak dengan suara yang sangat jelas, bukan lagi suara hati.

“Kau tak perlu mengetahui siapa aku, tapi yang jelas, kedua orang tuamu pasti mengenalku dengan sangat baik.” Jawab suara bisikan tersebut.

“Baiklah, aku seharusnya percaya kepadamu jika benar kedua orang tuaku mengenal dirimu.” Si anak lalu terpikir untuk langsung saja menanyakan hal yang sedang mengacaukan suasana hatinya. Namun belum sempat ia mengeluarkan sepatah kata, suara bisikan itu langsung memberikan saran kepada si anak.

“Bunuh saja saudara lelakimu.” Suara itu tidak lagi terdengar seperti suara bisikan lagi, namun sekarang lebih mirip dengan suara halilintar yang menyambar dengan sangat menggelegar. Si anak tidak menanggapi sama sekali saran dari si suara bisikan. Ia mulai berpikir keras. Memaksa seluruh bagian otaknya membantu untuk mencerna saran tersebut. Ia terus berpikir. Keringatnya menetes, menandakan awal dari semua pembantaian yang terjadi di muka bumi ini.

***

Hari itu Azil berencana untuk pergi mencari makam kakeknya. Ditemani Ibis, mereka berjalan menyusuri labilnya kondisi bumi saat itu. Panas yang keterlaluan memaksa mereka agar secara berkala mencari bangunan tak berpenghuni untuk berlindung dari sengatan matahari. Namun tak hanya untuk berlindung dari sengatan matahari, mereka juga harus menghindari hujan yang kedatangannya sering kali tak menentu. Terkadang hujan yang turun dalam waktu yang lama, terkadang hanya datang sekejap mata saja. Tidak ada yang bisa ditebak pada kondisi bumi saat itu.

Mereka sudah berjalan cukup jauh, namun apa yang mereka cari tak kunjung mereka temukan. Seperti biasa, Ibis yang kelakuannya seperti Iblis menggerutu sepanjang jalan. Mengeluh. Meringis, dan tentunya berbicara tanpa ada jeda. Tapi Azil dengan rasa persahabatannya yang kuat, berusaha untuk menahan rasa kesalnya demi menjaga perasaan satu-satunya manusia yang siap mendampinginya kemanapun ia pergi, meski sepertinya Ibis selalu bertingkah tak sesuai dengan apa yang dikehendaki Azil.

Di perjalanan, mereka sesekali bertemu dengan kelompok manusia lain yang untungnya masih memiliki banyak persediaan pil. Kelompok itu tidak lapar sehingga mereka tidak ada niatan untuk memangsa Azil dan Ibis. Mereka memberanikan diri untuk sesekali bertanya kepada kelompok yang mereka temui. Namun tak ada satu orang pun yang mengetahui tempat tujuan mereka. Karena jika dilihat secara seksama, masing-masing dari setiap manusia pada kelompok yang mereka temukan, hampir semuannya adalah manusia yang usianya di bawah usia Azil dan Ibis. Wajar saja mereka tak mengetahui banyak hal. Karena sepertinya mereka-mereka itu adalah sisa-sisa dari korban pengurangan penduduk bumi secara masal pada tempo dulu. Pembantaian.

Matahari terlihat sudah tergelincir ke barat. Hari akan segera bertemu dengan gelap dan dinginnya malam. Mereka berdua bergegas mencari tempat untuk berlindung dari dinginnya malam, juga tentu manusia yang lapar. Namun sebelum itu, Ibis mengajak Azil untuk memungut benda-benda yang sekiranya bisa ia persembahkan kepada api. Benda sesembahan yang biasa mereka jadikan pelindung dari berbagai hal; api. Mereka lanjut mengumpulkan barang-barang peninggalan penghuni gubuk kecil, tempat mereka singgah saat itu. Mereka memilih sebuah rumah untuk beristirahat. Mengarungi malam pada saat tahun itu tak jauh berbeda dengan malamnya para manusia di zaman berburu. Jika tak berhati-hati dan lengah, bisa saja malam itu akan menjadi malam terakhir bagi mereka berdua. Di zaman berburu, manusialah mahluk yang mendominasi mahluk lainnya. Dan kali ini masih tetap sama. Namun manusia pada zaman ini bukan lagi memburu rusa, kambing, mamut atau babi hutan, melainkan memburu sesame manusia. Karena pada tahun ini, mahluk-mahluk yang disebutkan di atas sudah punah. Bahkan namanya saja sudah tidak terdengar lagi.

Sebelum keadaan bumi seperti saat ini (di tahun kehidupan Azil-Ibis) kemajuan yang terjadi pada semua bidang sangatlah massif. Bahkan para Dewa pun bisa jadi tidak menduga akan kemajuan yang di alami oleh manusia. Seseorang yang berada di ujung barat bumi akan sangat mudah untuk berpindah ke ujung timur bumi. Dan itu tidak membutuhkan waktu lama, bahkan tergolong sangatlah cepat. Seperti seseorang yang keluar dari pintu toilet umum. Umat manusia pada tahun itu juga tidak membutuhkan makanan lagi, mereka mengkonsumsi pil yang bisa mentiadakan rasa lapar dan mencukupi nutrisi yang dibutuhkan tubuh dalam waktu satu bulan.

Namun berbeda dengan beberapa ratus tahun sebelum tahun puncak kemajuan manusia, di tahun kemajuan puncak itu, peradaban manusia tidaklah mengenal Tuhan, berbeda dengan beberapa ratus tahun sebelumnya yang apa-apa manusia kembali kepada satu hal yang mereka yakini sebagai Tuhan, Yang Maha Segalanya.

“Azil?” suara kobaran api menahan suara Ibis, isi kepalanya seperti air yang sedang mendidih. Berusaha mencari jalan untuk keluar dan membasahi apa saja yang mencoba menghalanginya. “Apa kau pernah mendengar tentang Tuhan?” Azil cukup terkejut mendengar pertanyaan yang dilemparkan Ibis secara tiba-tiba. Karena sebelumnya mereka sama-sama terdiam, merenung sembari memikirkan untuk apa mereka hidup sampai sejauh itu. Terlebih Ibis adalah sosok yang dikenal Azil sebagai pribadi yang konyol. Jadi, Azil merasa sedikit aneh ketika mendengar Ibis menanyakan hal semacam itu. “Karena dulu aku rasa pernah mendengar kata itu. Dan yang jelas itu bukan nama dari jenis makanan. Tapi aku lupa Tuhan itu apa.” Lanjutnya sambil menggaruk-garuk rambutnya lalu mendekatkan diri ke mulut api.

“Tentu saja aku tau. Sebab kakekku dulu sering menceritakanku.” Azil bangkit dari posisi tidurnya lalu duduk mendekati mulut api. “Menurut kakekku, Dialah yang menciptakan segala hal yang ada saat ini, segalanya. Kita, dunia ini beserta cerita di dalamnya.” Azil menatap gemintang diikuti Ibis yang bingung mengapa sahabatnya itu menatap ke atas setelah menjelaskan kepadanya Tuhan itu apa.

“Azil, berarti Dia juga yang mengutus pemimpin seperti sang Raja?” balas Azil dengan polos, berpikir jika Tuhan itu jahat karena mengutus pemimpin yang serakah dan sangat egois seperti sang Raja.

“Maksudmu Tuhan?” Ibis terdiam karena merasa ragu untuk menjawabnya. “Tentu saja, Tuhanlah yang menjadikan segala cerita ini. Jika kita mengikuti apa yang kakekku ceritakan.”

“Berarti Dia juga yang menyuruh setan-setan itu membantai keluarga kita?” Ibis tak terlihat seperti biasanya, bola matanya memberontak kedepan dan wajahnya memerah dengan aura di sekelilingnya berkobar; ia memarahi Tuhan.

“Sepertinya bukan seperti itu, sahabatku. Hal itu terlalu sederhana”. Azil menjawab untuk meredakan gejolak yang sedang terjadi dalam diri sahabatnya. Padahal jika ditelisik lebih dalam, ia pun bingung dan tanpa sepengetahuan Ibis sudah sejak dulu menanyakan hal yang sama, entah kepada siapa ia bertanya. Karena jika kita mengatakan bahwa ia bertanya kepada dirinya sendiri, sudah pasti sebelum pertanyaan itu muncul di kepalanya, ia akan berputus asa bak cerita-cerita tentang penaklukkan Konstantinopel ketika diceritakan kepada orang-orang yang tak mengimani hal yang sama dengan Al Fatih dan pasukannya kala itu; akan sulit untuk dipercaya dengan kedangkalan.

“Dan apakah kau ingin bertemu dengan Tuhan?” Ibis melanjutkan pertanyaannya, namun kini dengan nada yang sudah lebih tenang dan santai. Azil menatap dalam-dalam kedua bola mata sayu yang menempel di wajah kurus seorang manusia yang tak mengerti kenapa ia ada dan untuk apa ia diadakaan dan siapa yang membuatnya ada.

“Untuk itulah kita mencari kuburan kakekku”.

“Oh, apa kakekmu membawa Tuhan ke dalam kuburannya? Atau jangan bilang kakekmulah yang telah membunuh-Nya sehingga nama Tuhan sudah tak terdengar lagi?!” Ibis bergerak dari tempat duduknya lalu mendekatkan dirinya ke hadapan Azil seakan selepas pertanyaannya itu aka nada rahasia terbesar abad itu akan dikeluarkan oleh sahabatnya itu. Azil menanggapi tingkah Ibis dengan senyum yang menggambarkan betapa bahagagianya ia memiliki sahabat seperti Ibis.

“Aku tidak yakin”. Setelah mendengar jawaban dari Azil, Ibis pun terdiam. Namun di balik diamnya, seluruh bagian otaknya sedang ia paksa bekerja keras untuk merenungi apa yang baru saja ia bicarakan dengan sahabatnya.

Suasana sepi nan sunyi setelah obrolan itu berakhir tanpa diakhiri. Secara tidak disengaja, di balik kesunyian yang sedang terjadi, kedua manusia itu sedang menyimak kerasnya perdebatan dan gejolak dalam pikiran mereka masing-masing. Secara kebetulan, mereka berdua memanglah sedang memikirkan hal yang sama. Dalam otak terdalam, mereka memikirkan siapa Tuhan itu, di mana Ia tinggal, bagaimanakah rupa-Nya, sampai apakah Tuhan itu memiliki wajah karismatik namun penuh kekejaman seperti sang Raja yang memimpin kehidupan di tahun itu. Entah sampai kapan mereka akan memikirkan hal tersebut. Malam yang sungguh Panjang bagi mereka berdua.

Pada tahun itu, nama Tuhan sudah tidak terdengar lagi. Hampir semua manusia yang tersisa terus meneriakkan nama sang Raja; Djil. Mereka beranggapan bahwa Djillah sang pemberi kehidupan lewat teknologi yang ia ciptakan. Namun tak sedikit juga manusia yang menaruh dendam kepadanya sebab semenjak ia menjadi pemimpin bagi kehidupan di tahun itu, semua semakin berantakan. Selain Tuhan, keadilan juga sudah terbunuh pada tahun itu. Satu-satunya yang bisa diselamatkan hanya pikiran. Jika jernih, maka memberontaklah. Jika keruh, maka tertunduklah pada kuasa yang palsu.

#02

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ringkasan

Surga ditutup Sementara; Lahirnya Pembunuh Pertama

“Oh, apa kakekmu membawa Tuhan ke dalam kuburannya? Atau jangan bilang kakekmulah yang telah membunuh-Nya sehingga nama Tuhan sudah tak terdengar lagi?!” Ibis bergerak dari tempat duduknya lalu mendekatkan dirinya ke hadapan Azil seakan selepas pertanyaannya itu aka nada rahasia terbesar abad itu akan dikeluarkan oleh sahabatnya itu. Azil menanggapi tingkah Ibis dengan senyum yang menggambarkan betapa bahagagianya ia memiliki sahabat seperti Ibis.

Baca Juga:

Scroll to Top