Bangar Desa, Bangunan Kuno Cikal Bakal Komunitas Adat Gumantar

Picture of Fathul Rakhman

Fathul Rakhman

Penulis :

Fathul Rakhman

Sebagian besar ritual di masyarakat adat Gumantar dipusatkan di halaman salah satu bangunan tradisional, tepat di tengah perkampungan Dusun Desa Beleq, Desa Gumantar, Kecamatan Kayangan. Bangunan berukuran 6 meter persegi itu diyakini sebagai cikal bakal perkampungan masyarakat adat Gumantar.

Saat acara Pegawe Gumi, upacara syukuran atas panen, warga berkumpul di halaman bangunan itu. Halam seluas kurang lebih 4 are itu menampung warga yang datang untuk menari. Di lahan berumput itu pula para pemain gamelan bermain semalam suntuk, mengiringi tarian para kaum perempuan. Warga yang masuk dalam komunitas adat Gumantar yang meliputi Dusun Desa Beleq, Tenggorong, Gumantar, Dasan Tereng, Paok Gading, dan Dusun Tangga Desa Salut silih berganti datang ke kompleks Bale Pegalan itu.

Bangunan beratap ilalang, berdinding bedek, berlantai tanah itu hampir sama dengan bangunan rumah tradisional di Desa Beleq. Bedanya, rumah tradisional memiliki pembagian ruangan untuk tempat tidur, dapur, dan penyimpanan gabah. Sementara Bale Pegalan itu ruang kosong, tidak ada sekat. Pintu masuk lebih pendek, setiap orang yang masuk harus membungkukkan badannya. Ukuran anak remaja pun tetap harus menunduk.

Di luar kegiatan adat, bangunan itu tidak berfungsi. Tidak ada yang tinggal di dalamnya. Tidak ada benda pusaka yang tersimpan. Bangunan itu hanya ruang kosong. Terisi ketika warga akan menggelar ritual adat. Hanya tokoh-tokoh adat yang boleh memasuki. Warga umum yang masuk harus mendapat persetujuan tokoh-tokoh adat.

‘’Para tokoh adat kumpul di dalamnya untuk membahas rencana ritual,’’ kata Yurdin, Kepala Dusun (Kadus) Desa Beleq. Di dalam struktur adat, Yurdin juga memegang tampuk sebagai Turun (pemegang urusan administrasi).

Tokoh-tokoh yang menjadi pemimpin masyarakat adat yang terdiri dari mangku, penghulu, turun, raden, dan pemekel berkumpul di Bale Pegalan itu. Hanya lampu jojor (lampu dari buah jamplung) , atau lampu berbahan bakar minyak yang boleh dijadikan penerangan. Tidak boleh ada listrik di dalam Bale Pegalan itu.

Untuk membuka pintu Bale Pegalan itu, mangku yang pertama membuka. Begitu juga untuk menutup pintu itu. Keteraturan tugas itu sudah diatur secara turun temurun. Mangku mengurus aktivitas masyarakat yang berkaitan dengan ritual adat, penghulu yang berkaitan dengan urusan ibadah, raden bertugas sebagai mantri/tukang sunat/pengobatan, pemekel berkaitan dengan hukum adat, dan turun berkaitan dengan administrasi. Itulah sebabnya jabatan turun itu selalu melekat di Kepala Dusun (Kadus) yang diberikan secara turun temurun.

Rumah kosong itu tidak sembarangan dijadikan sebagai pusat memulai berbagai ritual adat. Pemilihan rumah itu berdasar nilai historis. Bale Pegalan itu dikenal juga sebagai Bangar Desa. Bangar Desa itu merupakan induk permulaan berdirinya sebuah komunitas adat. Di zamannya, Bangar Desa itu adalah bangunan pertama yang dibangun. Rumah pertama leluhur masyarakat adat Gumantar. Cikal bakal perkampugan masyarakat adat Gumantar dimulai dari bangunan itu.

Bangunan itu tidak boleh diubah. Bentuknya saat ini merupakan bentuk sejak awal dibangun. Rumah-rumah warga boleh saja berubah, mengikuti perkembangan zaman. Modernitas boleh masuk ke rumah warga, tapi Bangar Desa itu harus tetap dipertahankan.

Sebagai rumah yang ‘’khusus’’ di masyarakat adat Gumantar, rumah itu tidak boleh dimasuki semua orang. Hanya para tokoh adat yang boleh masuk. Warga umum biasanya masuk ketika para tokoh adat rapat dan meminta bantuan. Selain itu rumah itu bisa dimasuki hanya saat diperbaiki. Seluruh warga bisa memasuki bagian dalam rumah itu saat membongkar dinding dan atap. Begitu juga saat memasang kembali mereka bisa masuk. Tapi tetap harus ada pengarahan dari para tokoh adat.

Cuaca Buruk Diredam dengan Pembersihan Halaman

Warga meyakini cuaca ekstrem yang terjadi, kemarau yang terlampau panjang, hujan yang terlampau lebat bisa ‘’dijinakkan’’ dengan membersihkan halaman Bale Pegalan itu.  Keyakinan itu diteruskan secara turun temurun. Orang tua menceritakan pada anak cucu mereka. kelak ketika anak cucu itu menjadi orang tua akan meneruskan kembali ke anak cucu mereka. Kisah mistis kompleks Bale Pegalan pun menurun. Tidak terputus di satu generasi.

Seperti penuturan salah seorang perwakilan penghulu, Amaq Jana. Dari penuturan para orang tua, jika ada penyakit datang melanda kampung, atau masyarakat adat Gumantar, maka digelar ritual tolak bala di Bale Pegalan itu. Ritualnya berupa membaca doa dan membersihkan kompleks halaman rumah yang dianggap sebagai Bangar Desa (rumah pertama) itu. Keyakinan ritual itu mampu menolak bala sudah berakar kuat pada masyarakat adat Gumantar. Sama seperti kuatnya keyakinan warga Gili Trawangan, Gili Air, dan Gili Meno terhadap ritual Mandi Safar sebagai tolak bala. Tradisi menggelar ritual di kompleks Bangar Desa itu masih mengakar kuat. Termasuk keyakinan tidak boleh semua orang masuk ke dalam rumah itu pun masih dipertahankan.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ringkasan

Bangar Desa, Bangunan Kuno Cikal Bakal Komunitas Adat Gumantar

Sebagian besar ritual di masyarakat adat Gumantar dipusatkan di halaman salah satu bangunan tradisional, tepat di tengah perkampungan Dusun Desa Beleq, Desa Gumantar, Kecamatan Kayangan. Bangunan berukuran 6 meter persegi itu diyakini sebagai cikal bakal perkampungan masyarakat adat Gumantar.

Baca Juga:

Scroll to Top