Penulis :
Dian Agustini
Ini adalah isu lama, sebetulnya, tetapi masih sering saya dengar di kalangan orang-orang Muslim di sekitar saya.
Dimulai dari pertanyaan sederhana, mengapa nama ilmuwan Muslim pada masa keemasan seringkali diubah menjadi nama kebarat-baratan pada buku-buku pelajaran? Tidak, tidak hanya Ibnu Rusyd, saya masukkan Ibnu Rusyd ke dalam judul sebab saya tidak bisa membuat judul saja. Saya bisa memberikan beberapa contoh lain, seperti katakanlah Ibnu Sina menjadi Avicenna, Ibnu Khaldun menjadi Abenjaldun, Ar-Razi menjadi Rhazes, dan seterusnya.
Biasanya, pertanyaan ini akan dijawab secara menggebu-gebu: itu karena Barat mengaku-aku bahwa ilmuwan tersebut adalah milik mereka! Mereka tidak mau mengakui umat Muslim sebagai umat yang pintar dan penuh pengetahuan!
Biasanya, saya tertawa saja. Apakah iya begitu alasannya? Jika iya, wah, jahat sekali mereka, lagi-lagi Muslim yang jadi korbannya.
Aduh, mentalitas korban saya muncul lagi.
Padahal, sebetulnya, jika kita mau membaca sedikit lebih jauh saja, kita akan menemukan alasan perubahan nama tersebut tidak berkaitan sama sekali dengan agenda Barat yang menghapus nama Muslim sebagaimana asumsi pada umumnya.
Perubahan nama tersebut betul-betul semata-mata karena keterbatasan manusia. Dalam hal ini, keterbatasan kemampuan lidah orang Barat dalam mengeja nama bergaya Arab. Prosesnya itu, saya serius, panjang sekali.
Kita ambil contoh Ibnu Rusyd yang menjadi Averroes. Perubahan nama Ibnu Rusyd (ابن رشد ) menuju Averroes ini lumayan tidak masuk akal jika kita lihat sekilas, tetapi proses menuju ke sana bisa menjelaskan banyak hal, terutama perjalanan penerjemahan karya-karyanya.
Pada hakikatnya, Averroes adalah metamorfose Yahudi-Spanyol-Latin dari nama Ibnu Rusyd.
Pertama, dimulai dari penerjemahan karya-karya ilmuwan Arab ke bahasa Latin yang dilakukan pada pertengahan abad ke-12. Penerjemahan ini dilakukan di Spanyol, di bawah anjuran Francis Raymond de Sauvetât, seorang ahli arsip di Kota Toledo. Dia berada di bawah Sekolah Penerjemah Toledo yang banyak menerjemahkan karya dari bahasa Arab ke Kastilia, dari Kastilia ke Latin, dari Arab ke Latin atau Yunani, dan juga menyediakan teks-teks penting dari para filsuf Arab dan Ibrani yang dianggap penting.
Penerjemahan karya-karya ini pada umumnya adalah hasil kerjasama seorang pendeta Kristen Spanyol yang tahu bahasa Latin, tetapi tidak paham Bahasa Arab dan seorang Yahudi Spanyol yang paham Bahasa Arab tetapi tidak tahu bahasa Latin. Singkatnya, Mereka saling melengkapi.
Caranya, si Yahudi membaca dengan keras setiap kata-kata atau kalimat Arab dari teks buku yang diterjemahkan. Lalu dia menerangkan arti dari kata-kata Arab tersebut dalam bahasa setempat; bahasa Spanyol. Bahasa Spanyol menjadi penengah antara keduanya.
Kemudian, si Pendeta yang mengerti bahasa Latin akan menerjemahkan kata-kata itu dalam bahasa Latin. Bisa dikatakan, metamorfose Ibn Rusyd atau Ibn Rochd (menurut transliterasi standar Latin) menjadi Averroes adalah akibat dari rentetan perubahan parsial yang menyertai kegiatan penerjemahan tersebut.
Kronologinya begini:
- Orang-orang Yahudi ketika membaca kata Arab Ibnu—yang berarti anak dari—, mengucapkannya dengan Aben (kata dari bahasa Ibrani yang juga berarti anak dari). Huruf sy tidak ada dalam Maka mereka membaca nama Ibnu Rusyd ini dengan Aben Rosyd.
- Kemudian, karena konsonan “b” diubah menjadi “v” dalam ejaan Spanyol, maka jadilah Aven Rosyd.
- Melalui asimilasi huruf-huruf konsonan (idgham dalam bahasa Arab), berubah lagi menjadi Averrosyd.
- Karena huruf ش (sy) tidak ada dalam bahasa Latin, maka diganti dengan huruf “s”. Maka jadilah Averrosd.
- Namun, karena bunyi “s” dan “d” yang digabung terasa sulit diucapkan dalam bahasa Latin, maka huruf “d” dihilangkan. Sehingga menjadi Averros.
- Akan tetapi, penyebutan ini juga masih bermasalah. Akan membingungkan dengan “s” yang posessif. Karenanya disisipkanlah huruf “e” antara “o” dan “s”, sehingga menjadi Averroes. Dalam ejaan lain: Averroës.
- Singkatnya: Ibn Rusyd – Ibn Rochd – Aben Rochd – Aven Rochd – Averrochd – Averrosd – Averros – Averroes (Averroës)..
Perubahan nama ini juga bisa menjelaskan pihak-pihak mana saja yang bekerja dalam penerjemahan karya mereka yang pertama kali; dilihat dari struktur ejaan namanya.
Bisa dilihat dari Ibnu Khaldun (Abenjaldun) dan Ibnu Tufayl (Abentofail) yang sepertinya pada mulanya hanya diterjemahkan ke dalam bahasa Ibrani, sehingga nama latinnya lebih condong ke arah ejaan bahasa Ibrani. Ibnu Sina (Avicenna) dan Ibnu Rusyd (Averroes) sendiri sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin. Karena Latin sendiri masuk dalam rumpun bahasa Proto-Indo-Eropa, ejaan ini banyak digunakan di Barat (seperti Inggris, Jerman, dan Belanda dalam sub-rumpun Proto-Jermanik), jadi ya kelihatannya ejaan ini terlihat digunakan oleh semua orang Barat.
Sebetulnya, agak aneh menjelaskan ini semua, karena semua informasi ini bisa ditemui di Wikipedia. Pada semua informasi yang tersebar, baik dalam bentuk media cetak ataupun digital, berbahasa Indonesia ataupun Inggris ataupun Ibrani, tidak ada yang pernah menyebut bahwa ilmuwan-ilmuwan tersebut sebagai orang Barat; semuanya disebut sebagai Muslim.
Adanya asumsi-asumsi liar yang berseberangan dengan informasi ini memberitahu kita satu hal: bahwa kita takut pada pengetahuan. Kita takut membaca sejarah dan tidak mau terbuka atas sesuatu yang kita anggap berbeda.
Kita tidak mau mencari kebenaran dan lebih suka mencari kambing hitam atas sesuatu yang kita anggap tidak rasional.
Profil Penulis :
Seorang mahasiswi Filsafat Universitas Gadjah Mada