Penulis : Muhammad Ibnal Randhi
Banyak asumsi yang mengatakan bahwasanya standarisasi hidup perempuan hanya sebatas pada tingkat mengasuh anak, di kasur, di dapur, dan juga di sumur. Namun, akankah itu hanya benar-benar opini saja atau itu sebuah kebenaran?
Dalam berkehidupan manusia tentunya cenderung ingin melewati hidupnya dengan rasa aman, mendapatkan keadilan, dan kebebasan (freedom is life). Karna hakekatnya kebebasan dalam hidup merupakan hak setiap orang, setiap makhluk tanpa memandang jenis kelamin. Namun kenyataan itu berbanding terbalik dengan apa yang diinginkan, manusia malah cenderung mendapatkan perilaku ketidakadilan dan ketidakbebasan berekspresi dalam lingkungan keluarga maupun lingkungan tempat ia tinggal. Hal ini selaras dengan kajian Simone de Behaviour terhadap manusia jikalau eksistensi (perilaku) manusia tergantung pada bagaimana ia menciptakan esensi (jati diri)nya sendiri. Kendati Simone beranggapan, secara ontologis apa yang katakan esensi manusia adalah socially created, yakni jati diri manusia dibentuk oleh ekologis tempat ia berada. Fenomena ini menjadi siklus perputaran antara manusia dengan lingkungan, dimana manusia dipengaruhi oleh lingkungan, dan lingkungan di pengaruhi oleh manusia itu sendiri. Lalu lambat laun siklus tersebut menjadi sebuah habbit (kebiasaan) yang diterima oleh banyak orang, sehingga akan memunculkan budaya baru di lingkungan tersebut atau diistilahkan dengan budaya patriarki. Hal ini dibuktikan dengan pemahaman masyarakat mengenai gender yang terlalu dangkal, sehingga seringkali bertindak seenaknya saja terhadap satu kaum yakni perempuan.
Secara literatur, patriarki berasal dari kata “Patriarkat” yang maknanya bentuk penguasaan tunggal dan segalanya dipegang oleh pihak maskulin (laki-laki) atau memposisikan laki-laki sebagai makhluk otonom dalam siklus kehidupan. Sedangkan kaum perempuan diperlakukan sebagai second dary creation atau makhluk sekunder yang tugasnya berada pada tataran internal saja seperti mengasuh anak, dikasur, didapur, disumur, serta memelihara lingkungan hidup. Tumbuhnya kultur patriaki ini bukanlah menjadi suatu sugesti yang tabu di lingkungan masyarakat, contohnya saja berdampak pada pola asuh orang tua yang dominan mengajarkan anak perempuannya untuk memasak, membersihkan rumah, mencuci, tidak keluyuran terlalu sering apalagi sampai larut malam, bahkan beberapa orang tua menekankan anak gadisnya untuk tidak bekerja di luar rumah saat ia telah menikah nanti. Tidak seperti anak laki-laki yang difokuskan untuk selalu bekerja keras, diperbolehkan keluyuran sampai larut malam, tidak bisa masak atau tidak mampu mengurus rumah tangga bukanlah problematik yang besar bagi orang tua.
Dalam ideologinya, patriarki seringkali menimbulkan kebelengguan kaum feminis terhadap kaum maskulin. Karna anggapan patriarki, laki-laki berada pada tingkatan superior dibandingkan dengan perempuan yang berada pada starata inferior. Alhasil perempuan mau tidak mau akan dikuasai oleh laki-laki dan perempuan merupakan milik laki-laki. Oleh sebab itu tidak ada kebebasan dalam hidup yang di jalani oleh perempuan terlebih ketika ia sudah membangun hubungan keluarga.
Namun, di penghujung abad ke-20 tepatnya pasca perang dunia I tahun 1970, Jean Paul Sartre seorang filsuf yang terkenal dengan aliran eksistensialnya dan pelopor teori kebebasan di Prancis, telah membawa pola perubahan paradigma manusia mengenai gender. Dalam kacamata satre “human is condemned to be free” (manusia sejak lahir telah dikutuk untuk bebas). Layaknya perempuan juga merupakan subjektifitas bebas, sama halnya dengan laki-laki yang memiliki hasrat untuk berkembang, mencapai aktualisasi pada dirinya dengan tidak menghilangkan esensi untuk dicintai. Artinya, perempuan hanyalah subjek biasa yang ingin merasakan kebebasan namun tetap ingin dicintai, tidak diperbudak atau dijadikan sebagai makhluk sukender. Tetapi kebebasan yang dimaksud disini ialah mampu membedakan mana baik dan buruk. Tentu bagi satre kebebasan bukanlah suatu kehidupan tanpa aturan, melainkan kehidupan yang menerima setiap konsekuensi atas perbuatan yang diperbuat.
Sejak Satre melihat kekacauan manusia yang menafsirkan gender agak melenceng dari pemahamaannya, ia pun berusaha untuk membuat suatu metode dengan menjadikan ruang lingkup keluarga sebagai objek kajiannya. Karna cikal bakal patriarki berawal dari pola asuh parenting yang sejatinya menempatkan perempuan pada posisi domestik saja. Kemudian ia mencoba untuk menerapkan pendidikan androgini pada kedua gender. Guna untuk memerdekakan diri, manusia harus bisa menyeimbangkan sifat feminis dan maskulin dalam dirinya sejak dini.
Secara konsep androgini mengacu dari bahasa Yunani yaitu aner yang maknanya laki-laki dan gune yang maknanya perempuan. Sehingga interperetasi pendidikan androgini ini ialah pendidikan yang bertujuan untuk memberikan stimulus kepada anak untuk menyinkronkan sifat feminim dan maskulin yang ada dalam dirinya agar tidak terjadi disintegrasi gender. Selain itu, pendidikan androgini ini bertujuan untuk meminimalisir paham perbedaan mengenai stereotip gender antara laki-laki dan perempuan. Dengan cara, pola asuh orang tua yang memberikan mainan mobil-mobilan kepada anak perempuan dan boneka kepada laki-laki. Senjang waktu berikutnya orang tua mengajarkan anak perempuannya memasak serta mengajarkan anak laki-laki untuk membantu ayahnya membersihkan kebun.
Selain mampu menselaraskan, pendidikan ini juga membentuk konsep diri pada anak agar selalu menggunakan kedua sifat feminim dan maskulinnya (tidak ada yang lebih condong) kendati idealitas hidup manusia terletak pada kemampuan untuk menyeimbangkan apa yang ia miliki. Kemudian mampu memberikan kebebasan serta kesamaan hak pada perempuan baik dari segi sosial, ekonomi, dan menjaga keharmonisan keluarga. Dibalik metode ajar yang diberikan oleh Satre dapat terlihat di era modernisasi ini telah banyak perempuan yang berkiplah dan masuk ke dunia kerja bersama-sama dengan laki-laki dengan mengadopsi kewibaan, kegigihan dalam bekerja, namun tanpa menghilangkan rasa kepedulian serta pengasuhan kepada keluarga. Bukan itu saja perubahan gaya hidup perempuan pada masa sekarang merupakan manifestasi dari keinginannya untuk tidak lagi terjerat dalam budaya patriaki.
Sedikit quotes “Kebebasan terletak pada manusia itu sendiri, lakukan selama itu baik dan pikirkanlah selama itu buruk”.
Pemuda yang akrab dipanggil Ibnal, ia bearasal dari Selagalas. Jika ingin lebih mengenal Ibnal, silakan berkunjung ke akun Instagramnya di @ibnalrnd_