Guru Baca Berdiri, Murid Baca Berlari

Picture of Lalu Abdul Fatah

Lalu Abdul Fatah

(Dimuat di Majalah Median Edisi 2 tahun 2017. Majalah ini diterbitkan oleh Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Jawa Timur)

“Siapa yang sudah pernah baca buku ini?” Suatu ketika saya menunjukkan buku Oh My Goodness: Buku Pintar Seorang Creative Junkies karya Yoris Sebastian pada murid-murid saya di kelas menulis. Mereka menggeleng.

Inilah kesempatan yang saya tunggu-tunggu. Momen ketika mata mereka berbinar memandang buku yang saya usung. Buku yang berbeda-beda tiap minggunya, baik yang telah maupun sedang saya baca.

Saya mulai menceritakan hal-hal menarik seputar buku tersebut pada mereka. Latar belakang penulis, proses kreatifnya, konten yang ia tulis, bahkan interaksi yang mungkin pernah saya lakukan dengan penulisnya. Namun, yang paling penting adalah bagaimana saya mengaitkan isi buku tersebut dengan proses yang sedang mereka jalani.

Misalnya, dalam buku Oh My Goodness, saya menemukan kutipan berikut di bab pertama: “Creativity is a Habit, not Genetic.” Maka, penjelasan pun saya gulirkan. Bahwa, kreativitas itu kebiasaan, bukan genetis. Kreativitas itu proses latihan yang panjang, bukan turunan dari orangtua. Dengan kreativitas, hidup seseorang lebih tertunjang. Ia akan lebih fleksibel menghadapi tantangan dan bahagia menjalani hidup. Ia akan lebih jeli dan punya sudut pandang sendiri dalam menikmati hidup. Ia takkan mudah mengeluh. Justru dia bisa melihat banyak kemungkinan dan bisa terlatih untuk mengambil keputusan.

Hal-hal yang sifatnya batiniah inilah yang kerap menjadi bahan bakar saya untuk mengajar. Merasakan banyak manfaat dari berpikir kreatif, maka saya merasa perlu melatihkannya pada anak-anak. Dan, saya melatihkannya lewat menulis. Lewat kata-kata.  

Mengapa saya menggunakan buku?

Saya menyadari manfaat yang luar biasa dari buku. Sebagai penulis 17 buku, saya sadari betul bahwa sebuah buku dihasilkan dari proses membaca, observasi, riset, juga latihan berpikir yang panjang. Saya merasa berdaya dengan buku, baik dengan membaca maupun menulis. Kreativitas terlatih, daya kritis terasah, logika berpikir tertata, perasaan juga terhaluskan. Artinya, secara abstraksi, saya merasa lebih berdaya.

Belum lagi manfaat secara konkret atau materiil yang saya dapatkan dari aktivitas literasi ini. Contohnya: kerap diundang mengisi talkshow atau workshop penulisan, mendapat honorarium tulisan dari media juga royalti buku yang telah diterbitkan, menjadi juri lomba menulis, serta bisa traveling karena memenangkan kompetisi menulis yang hadiahnya jalan-jalan.

Bersandar dari hal-hal itulah, maka saya selalu semangat untuk berbagi manfaat buku. Bahkan, pada momen-momen tertentu, saya tak segan-segan untuk menghadiahi mereka dengan buku. Misalnya, saya tantang mereka untuk menulis dengan topik tertentu. Bagi yang tulisannya paling baik menurut penilaian saya, saya ganjar dengan buku. Kalaupun bukan buku, mungkin dengan makanan ringan. Intinya, membuat kelas menjadi menyenangkan dengan hal-hal berbau buku.

Pada kesempatan lain, jika saya merasa sebuah buku perlu mereka miliki dan baca, maka saya kompori mereka untuk membeli. Saya akan detailkan judul buku; nama penulis; penerbit; harga; juga lokasi membeli yang kiranya terjangkau untuk kantong mereka, semacam: toko buku diskon atau lapak daring (online). Penekanan saya adalah mereka perlu membacanya.

Dari beberapa kasus, saya berhasil meyakinkan mereka. Buktinya, mereka mengabari saya secara langsung atau melalui japri (jaringan pribadi) bahwa mereka telah membeli buku tersebut. Misalnya, saya pernah memprovokasi murid-murid saya di kelas menulis di Asrama Al-Furqon, Pondok Pesantren Darul ‘Ulum Jombang, juga para peserta workshop menulis di sebuah kampus di Jombang untuk membeli buku Do It with Passion karya Ken Robinson. Beberapa di antara mereka memberitahu saya via Whatsapp kalau sudah membeli buku itu di toko buku diskon di Jombang. Bahkan, ada yang memesan langsung melalui toko buku online.

Tidak sekadar ‘mengantarkan’ mereka sampai pada tahap membeli buku, saya juga membuka kesempatan untuk berdiskusi. Poin-poin dalam buku itu bisa kami diskusikan via japri maupun saat jumpa langsung. Entah mereka yang inisiatif untuk menghubungi saya, atau saya yang bertanya perihal buku itu pada mereka.

Selain lewat perjumpaan di kelas atau forum-forum tertentu, saya juga memaksimalkan media sosial saya untuk mengampanyekan nikmatnya membaca pada mereka. Saya terbuka untuk berteman di Facebook atau saling follow di Instagram. Saya biarkan mereka tahu tentang aktivitas literasi yang saya lakukan. Sebagai contoh, saya mengunggah foto buku yang barusan saya beli, sedang saya baca, atau buku yang saya inginkan baca. Ditambah keterangan foto (caption) yang mengarahkan pikiran mereka bahwa membaca buku itu sungguh kenikmatan tiada tara.

Bagaimana saya bisa melakukan itu tanpa merasa beban? Tak lain karena saya mencintai buku. Saya merasakan manfaat yang luar biasa dari aktivitas membaca, diskusi, dan menulis buku. Saya merasa tidak sekadar menjalani hidup yang biasa saja dari hari ke hari. Buku, menurut hemat saya, membuat hidup saya lebih hidup. Jiwa saya bertumbuh. Bukankah itu yang ingin dicapai oleh manusia? Apalagi jika merujuk pada teori Abraham Maslow, bahwa puncak tertinggi dari kebutuhan manusia adalah aktualisasi diri. Artinya, setelah mampu memenuhi kebutuhan dasar (fisiologis dan keamanan) dan kebutuhan psikologis (kepemilikan, cinta, dan harga diri), maka kebutuhan puncak seseorang adalah ketika ia bisa menggapai potensi terbesarnya sebagai manusia, termasuk berkreativitas alias mampu menciptakan sesuatu.

Maka, saya secara alamiah terdorong untuk membagikan kesenangan membaca buku dan menulis pada orang lain, khususnya generasi muda. Sebab, saya punya visi pribadi agar anak-anak muda Indonesia mampu dan cinta membaca dan menulis buku. Biar mereka berdaya dengan karya.

TIPS PRAKTIS AGAR SISWA CINTA BUKU

  1. Pilih buku yang tepat, sesuaikan dengan kebutuhan kelas dan pembelajaran. Bisa berupa buku-buku kreativitas, novel inspirasional, buku motivasi, dan lain-lain.
  2. Temukan intisari dari apa yang Anda baca. Sekalipun Anda belum baca sampai tuntas, berusahalah untuk mengikat maknanya. Anda bisa menyimpannya di kepala. Lebih baik lagi dengan menuliskannya.
  3. Sampaikan ikatan makna tersebut pada siswa. Tuturkan lewat cerita. Bila perlu bacakan penggalan kalimat atau paragraf dalam buku tersebut. Bisa pula meminta siswa membacakannya. Intinya, siswa bisa merasakan sendiri memegang bahkan membaca buku yang telah dibaca oleh si pengajar. Itu menjadi sensasi tersendiri bagi siswa.
  4. Rekomendasikan buku tersebut untuk mereka baca atau miliki. Jika mereka belum sanggup membeli, tawari untuk meminjam.
  5. Diskusikan isi buku tersebut. Tujuannya agar ada proses mengikat makna yang lebih mendalam. Artinya, siswa tidak dilepaskan begitu saja tenggelam dalam samudera kata-kata. Dengan diskusi, siswa dan pengajar bisa saling memperkaya perspektif. Hubungan antara kedua belah pihak pun bisa terbangun lebih akrab.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ringkasan

Guru Baca Berdiri, Murid Baca Berlari

Saya menyadari manfaat yang luar biasa dari buku. Sebagai penulis 17 buku, saya sadari betul bahwa sebuah buku dihasilkan dari proses membaca, observasi, riset, juga latihan berpikir yang panjang. Saya merasa berdaya dengan buku, baik dengan membaca maupun menulis. Kreativitas terlatih, daya kritis terasah, logika berpikir tertata, perasaan juga terhaluskan. Artinya, secara abstraksi, saya merasa lebih berdaya.

Baca Juga:

Scroll to Top