Jelajah Literasi Sumbawa

Picture of Reza Hamzani

Reza Hamzani

“Tidak ada orang yang malas membaca, hanya saja akses bacaan dan keteladanan yang tak sampai pada mereka.”

Dalam mewujudkan harapan besar yang kami dambakan, provinsi Nusa Tenggara Barat menuju provinsi literasi, kami mulai bergerak mengarah ke timur. Dataran tinggi pegunungan Batu Lanteh menjadi tujuan dari perjalanan Jelajah Literasi kali ini. Ini menjadi perjalanan perdana kami. Gagasan serta konsep dari Jelajah literasi ini sendiri sebenarnya sudah sejak lama digagas oleh salah satu kawan dari Sekolah Literasi Rinjani. Namun, baru bisa terealisasi kini di bulan Juni 2023.

Mengapa kami memilih daerah pelosok pegunungan Batu Lanteh?

Nanti kawan kawan akan mengetahuinya sendiri.

22 juni kami mulai bergerak ke Sumbawa. Kantor Kotaragama di Sukamulia menjadi titik kumpul kami, berangkat berdelapan dengan enam motor membawa sekitar 9 dus buku bacaan. Ada buku tuk pembaca umum dan buku buku cerita bergambar untuk pembaca anak anak bertema muslim.

Perjalanan kami spesial karena dilepas langsung oleh Presiden Pustaka Bergerak Indonesia yang lebih nyaman disebut Penanggungjawab Pustaka Bergerak: Bang Nirwan Ahmad Arsuka. Ia terbang dari Jakarta menuju Lombok, berkeliling ke beberapa komunitas penggerak literasi yang tersebar di berbagai penjuru gumi Lombok. Dari toko buku rumahan yang menyediakan area diskusi bedah buku dan karya, sampai kumpulan pemuda penggerak literasi yang memadukan pariwisata dengan pengembangan SDM melalui literasi tak luput dikunjungi. Beliau dengan bang Fathul Rakhman berkeliling di Lombok, sebagian kami bergerak menyusuri Sumbawa.

Jam 1 kami berangkat menuju pelabuhan Kayangan. Sesampai disana, kami mengisi kartu untuk pembelian tiket kapal. Satu motor tiketnya sekitar 75 ribuan. Motor saja yang dihitung, orangnya tidak. Artinya kalau dua orang dalam satu motor hitungannya tetap 75 ribu rupiah. Tiket kapal sudah kami dapatkan, tapi kami mengantre cukup lama, sejaman lebih.

Palang pintu dibuka, kami bergerak menuju kapal, tapi di ujung dermaga menuju pintu masuk kapal kami di bolak balikkan sebab kapal pertama sudah full dengan penumpang yang cukup padat, isinya didominasi oleh para penonton MXGP Samota.

Kami akhirnya dapat lowongan dikapal kedua setelah cukup lama menunggu. Kapal berlayar mengarungi Selat Alas selama kurang lebih 2 jam. Panorama gili petarando sampai dengan pulau kenawa menjadi suguhan yang cukup menawan dipandang baik dengan mata maupun direkam dengan lensa kamera.

Setiba di pelabuhan Pototano Sumbawa, kami langsung mengarah menuju Utan. Biar tidak kemalaman, karena kami akan bermalam disana, dirumah mertua ketua rombongan kami. Sekitar jam 9 malam kami tiba di Utan setelah melintasi jalan pantura (pantai utara) nya Sumbawa.

Berugak dan rumah panggung menjadi tempat yang terlihat begitu nyaman untuk rebahan. Tapi kami tidak diizinkan rebahan sebelum kami menyapa jamuan yang disajikan oleh tuan rumah. Begitulah adab memuliakan tamu dari tuan rumah. Sate, ikan laut, kacang sampai dengan sambal sira padang menjadi menu makan malam yang disajikan. Selepas makan malam kami pun lekas tertidur pulas dengan perut yang kekenyangan.

1. Menuju Punik

Setengah 6 pagi kami berangkat dari Utan dan menargetkan bisa sampai di Labuan Badas Sumbawa besar sebelum matahari terbit. Sesuasi target, kami tiba di Labuan Badas dan bergegas mencari pertigaan ke arah desa Batu Dulang, desa pertama yang akan kita lewati bila menuju pegunungan Batu Lanteh.

Di tanjakan pertama kami melewati areal pengelolaan air minum kemasan dengan merk Air mineral semongkat.

Kemudian kami melewati wilayah PLTMH, dan sampai di pemukiman pertama yang sudah berada di atas ketinggian 500an mdpl, dusun Punik. Disini tetumbuhan kopi sudah mulai tumbuh dengan subur. Pengolahan kopinya juga sudah sampai pada taraf pengolahan kopi ala barista, yaa standar permintaan coffeeshop. Ada coffeshopnya juga. Di Punik inilah batas pertemuan jalan antara jalan aspal dengan jalan tanah yang sedang diratakan dan akan di aspal. Rencana pengaspalannya sampai desa Tepal. Semoga pengerjaannya bisa cepat terealisasi.

Di wilayah Punik inilah kami melewati satu tower internet yang konon isunya dikorupsi dana pembangunannya. Seperti sindiran salah satu kawan yang cukup tahu soal isu ini “ini proyek yang harusnya internet masuk kampong, eh malah jadi internet masuk kantong” ucapnya dengan nada sinis. Untuk seorang yang bekerja sebagai jurnalis, informasi semacam ini dia cukup tahu, sebab dia tetap mengikuti berita agar dapat ragam berita sebagai referensi menulis berita.

2. Pusu

Sekitar jam 10:30 kami sampai di dusun Pusu, dusun pertama desa Tepal. Kami sudah janjian beberapa hari sebelumnya dengan salah satu guru yang mengajar di sekolah di dusun ini. Namanya pak Sahidullah. Dua buku kami lepas disini. Anak anak ramai menghampiri kami, mereka melihat dus yang kami buka dan langsung mengambil satu persatu isi bukunya. Mereka membaca dengan seksama, bahkan ada satu anak yang menyita perhatian kami, dia begitu fokus membaca tanpa peduli sekeliling. Ia membaca dengan nyaring meski baru lancar membaca dan masih terbata-bata. Kami teringat teori Carol Dweck tentang klasifikasi dua mindset yang ada di manusia, yaitu fixed mindset dengan growth mindset. Kami melihat anak anak seperti inilah yang nantinya akan terus berkembang, anak anak yang percaya bahwa kecerdasan itu diraih dengan usaha, bukan sekadar anugerah dari warisan kecerdasan turunan.

Kami bertukar cerita dengan pak Sahi seraya menikmati kopi dan kue cucur panggang yang disajikan. Kopinya dicampur dengan rempah khusus yang rasanya cukup unik dan menghangatkan badan bila diminum, tapi ini bukan jahe. Setiap tempat memang punya cara tersendiri untuk menikmati kopi, termasuk di wilayah pegunungan Batu Lanteh ini.

Kopi disini sangat banyak, betapa tidak, selama kami menyesap kopi dan mendengar cerita pak Sahi tentang daerahnya, banyak para pemuda yang lalu lalang menurunkan kopi berkarung karung dari atas motor motor yang sudah mereka modifikasi sesuai dengan lintasan jalan perkebunan. Sampai muncul lah julukan yang pertama kali kami dengar “wilayah pegunungan Batu Lanteh bukan lagi disebut sebagai kebun kopi, tapi hutan kopi”, benar saja, disini kopi tumbuh alami, kemudian di kelola oleh masyarakat hingga menjadi komoditi utama disini.

Jam 11:30 siang kami beranjak ke desa Tepal pusat. Waktu tempuh dari Pusu ke Tepal sekitar 30 menit. Masyarakat lokal mengatakan “ah Pusu ke Tepal gak sampai 10 menit”, tapi itu versi masyarakat lokal. Versi kami? 10 menit x3. Hehe

Jalanan menuju tepal pusat sedang dalam pelebaran. Kiri kanan jalan digusur dengan escavator kemudian diratakan lalu disiram kemudian dipadatkan. Di beberapa titik ruas jalan yang belum diratakan kami terjatuh, untung full tanah jadi tidak sampai membuat luka. 

Sekitar jam 12 siang kami sampai di desa Tepal. Kami rehat merebahkan badan di berugak berugak yang ada di lapangan Tepal, melihat para warga menjemur kopi dibawah terik matahari seraya menunggu kedatangan kepala sekolah atau guru yang bisa diubungi untuk konfirmasi soal penyaluran buku buku bacaan ini ke PAUD, TK, SD dan madrasah Tsanawiyah syekh Zainuddin Tepaly yang ada di Tepal, sebab kami belum punya kontak yang bisa dihubungi untuk konfirmasi penerimaan buku buku yang kami bawa. Dan ketemu, serah terima buku sudah dilakukan untuk 3 sekolah tadi.

Nah salah satu pengurus PAUD tadi, yakni Bapak Surnadi menawarkan kami untuk makan siang bersama dirumah panggungnya. Dalam hati “alhamdulillah rezeki”. Hehe… Mau beli nasi juga kami bingung nyari warung, sudah hampir jam 2 soalnya.

Sambil menuggu hidangan makanan siap disajikan, kami mengajak anak anak sekitar PAUD Lamar Bulaeng, (PAUD yang dikelola oleh pak Surnadi) dengan 5 guru setempat untuk mereview buku yang kami bagikan. Anak anak memainkan permainan permainan yang ada dalam dus buku. Kerennya, untuk bisa menyelesaikan permainan, anak anak harus terlebih dahulu membaca buku buku itu, sebab kata kunci atau kunci jawaban dari permainan itu ada dalam buku tersebut. Jadi ini adalah salah satu langkah keren yang inovatif dan solutif untuk menstimulasi minat baca anak anak yang diharapkan nantinya akan dapat meningkatkan minat baca siswa dengan cara yang tidak membosankan.

Hidangan makanan sudah siap, kami makan bersama diatas rumah panggung yang kelihatan sederhana dari luar, tapi ketika masuk, perabotan rumah cukup lengkap. Kami makan dengan lahap sambil mendengarkan dengan saksama, cerita pak Surnadi tentang Tepal, keresahan tentang pendidikan di kampung halaman sampai beliau memutuskan untuk mendirikan PAUD sebagai upaya untuk mendekatkan akses pendidikan pada anak usia dini, hingga cerita tentang anak perempuan nya yang ternyata sedang kuliah di UIN Mataram. Di tengah perbincangan, tiba tiba salah satu guru TK yang lainnya menghampiri kami dengan mnyodorkan dua bungkus oleh oleh kopi Tepal yang sudah dikemas “biar ada yang diminum, ala kadarnya”, “wah Alhamdulillah terimakasih Bu”.

3. Perjalanan Menuju Dusun Musuk Desa Tangkan Pulit.

Sekitar jam setengah 3 sore kami melanjutkan perjalanan munuju dusun Musuk, dusun pertama desa Tangkampulit kalua di tempuh melalui jalan Tepal. Titik temu dua desa inilah yang menjadi perbatasan antara dua jalan yang sudah cukup bagus dan bagi kami satunya benar benar parah.

Jujur untuk menuju desa Tangkampulit butuh effort yang extra, jalanan benar benar parah, hanya motor motor terpilih saja dengan driver handal yang bisa melintasi jalanan ini. Asli, disini kami benar benar merasakan apa yang kami saksikan tentang video dokumenter perjalanan ke pelosok negeri yang dulu tayangannnya banyak bersliweran di TV; bagaimana lintasan jalanan yang benar benar hancur untuk menuju sebuah pemukiman penduduk diatas pegunungan. Sampai kami mikir “kok ada yaa orang orang yang tinggal di pegunungan seperti ini.”

Jalan tanah basah bercampur kerikil yang cepat memadat menjadi ancaman yang menghambat perjalanan kami.    beberapa motor yang memang spakbor nya terlalu mepet dengan roda depan yang mengakibatkan banyak material jalanan tadi mengendap dan menumpuk sehingga membuat roda depan tak bisa berputar sama sekali, harus digaruk. Kalaupun di buka kami tidak membawa kunci.

Catatan tuk kawan kawan yang mau kesini harus mempertimbangkan hal ini, kalau bisa gunakan motor motor yang memang medannya adalah jalanan semacam ini. Untungnya, ada sungai yang kami lintasi. Kami memandikan motor supaya kerikil yang menempel di roda rontok. Ini adalah sungai pertama yang kami lintasi, masih ada beberapa sungai lagi di Tangkampulit, dan semuanya belum ada jembatan.

4. Musuk        

Dusun Musuk dari kejauhan sudah terlihat. Dalam perjalanan ada beberapa pemuda yang turun ke sungai kedua untuk mandi, tapi debit airnya tidak besar seperti sungai pertama tadi. Kami juga pengin mandi mendinginkan tubuh yang sudah berbalut peluh. Tapi nanti saja pikir kami sesampai di Musuk. Jelang pintu masuk dusun ini, ada banyak sekali sisa material kebakaran yang melalap sekitar 29 rumah warga. Kebakaran terjadi beberapa hari sebelum keberangkatan kami kesini. Kami masuk menyusuri gang, dan melihat pemandangan yang cukup memilukan, perumahan warga yang ludes terbakar dan atapnya tergantikan tenda tenda terpal. Semoga tidak berulang lagi bencana seperti ini. Amiin…

Kami diantar oleh seorang anak menuju rumah pak Haji Abdul Halim Al Musuki, sosok guru yang kami sudah membuat janji sebelumnya dengan beliau. . Kami tiba menjelang maghrib.

Beliau begitu antusisas menyambut kami.  Rumah beliau tepat berada di samping masjid dusun, area yang cukup padat penduduk. Setelah melepas barang barang di rumah bapak Haji, kami bergegas ke masjid, berniat mandi sekaligus langsung sholat maghrib. Tapi setelah menyaksikan debit air yang begitu kecil, niat kami untuk mandi harus kami urungkan. Kami melihat masyarakat berderet dengan jerigen jerigen kecil didepan mereka; mereka mengantri untuk mengisi air yang akan digunakan memasak malam nanti.

Kami menyangka bahwa tempat pegunungan semacam ini akan makmur dengan air, ternyata tidak. Memang mata air melimpah, tapi akses dan alat untuk mengalirkan air sampai ke pemukiman penduduk yang belum memadai. Terlebih sebab kebakaran kemarin, yang abunya belum usang membakar beberapa pipa masyarakat sampai aliran air terputus. Pra kebakaran saja air yang mengalir begitu kecil, apalagi pasca kebakaran. Kemudian bayangkan bila terjadi kebakaran seperti kemarin? Bagaimana masyarakat setempat memadamkan api yang membakar rumah rumah kayu mereka dengan air yang minim. Jelas sangat sulit. Mau menelpon pemadam yang berada di kota juga mustahil: pertama sinyal untuk menelpon sangat minim, bahkan untuk beberapa jaringan tidak ada sama sekali. Kedua jalannya tak bisa dilewati mobil pemadam, kalaupun bisa mungkin api sudah padam baru mobil pemadam sampai di tempat kejadian.

Rumah rumah kayu mungkin memang tahan terhadap bencana seperti gempa, tapi tidak dengan bencana kebakaran.

Seberes sholat maghrib, beberapa warga datang ke rumah pak Haji, ada anak beliau juga dengan beberapa kawannya dari kota dan dusun Pusu Tepal menginap disini. Ditengah perbincangan kami dengan para pemuda di ruang tamu, pak Haji dan anaknya terlihat sibuk mondar mandir, ternyata beliau sedang menyiapkan mesin diesel agar rombongan kami bisa mengisi daya batrai HP dan kamera. Kami tidak pernah meminta, tapi beliau begitu paham. Terimakasih.. seketika  suara mesin diesel terdengar, seketika itu pula warga makin ramai datang ke rumah pak Haji. Mereka membawa cokrol beserta senter dan HP yang akan mereka isi dayanya. Sebab listrik PLTMH sedang rusak sehingga sudah beberapa minggu sedari sebelum kami kesini listrik tidak pernah hidup kecuali dengan menggunakan diesel.

Rombongan kami membagi diri, ada yang berbincang dengan pemuda, ada yang beribincang bersama orang tuanya, ada juga yang berbincang dengan guru guru yang ada disana dengan ragam cerita yang berbeda beda. Dan ada juga dosen dari dataran tinggi pegunungan Batu Lanteh ini yang mengajar di UNRAM (Universitas Mataram) pada salah satu program studi disana. Kami bersyukur, kami bisa mendapatkan insight yang banyak dalam satu kesempatan. Termasuk perbincangan yang paling lama dan menyita perhatian adalah perbincangan ketua rombongan kami dengan salah satu kawan dari anaknya pak Haji yang sama sama berlatar aktivis kampus di zamannya, dan sekarang ada yang bekerja sebagai jurnalis, dan di AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara). Perbincangan hanya diistirahatkan kala makan malam datang, seberes itu lanjut lagi sampai larut malam. Sangat kaya informasi, sangat hangat. Kami merasakan bagaimana suasana hidup ala masyarakat desa, dengan silaturrahminya yang begitu hangat, sampai sampai hawa dingin yang menyergap baru terasa saat perbincangan kami usai.

Sekitar jam 07:30 pagi, kami berpamitan ke Bapak Haji, tentunya setelah sarapan bersama dan menyerahkan buku buku bacaan yang diamanahkan pada kami ke sekolah tempat bapak haji mengajar yang berlokasi di pusat desa Tangkam Pulit.

Kami bergegas melanjutkan perjalanan menuju pusat desa Tangkampulit. Jarak dari dusun Musuk kesana tak terlalu jauh, kalau jalan kaki mungkin sekitar 40 menitan. Tapi jalanannya ternyata begitu parah, jauh lebih parah dari yang kemarin. Mungkin jalanan ini maaf, lebih pantas disebut sebagai aliran sungai yang sedang kering, karena kalau musim hujan dapat dipastikan jalanan ini akan menjadi aliran air ke hilir, terlihat jelas dari bekas bekas lekukan yang menggerogoti sepanjang muka jalan. Belum lagi jalanannya menurun, menanjak dan berkelok kelok sehingga lengkap sudah ke extriman jalannya.

Kami harus menggotong motor saat menuruni salah satu turunan yang paling ngeri sejauh ini. Dua kawan bertugas menjadi penjaga motor yang sigap mengerem motor secara manual menggunakan tubuh mereka. Satu persatu motor di gotong. Ini hal yang menghabiskan cukup banyak waktu, hingga kami tiba di desa Tangkampulit sekitar jam setengah 9 pagi.

Setiba di Tangkampulit kami rehat di warung samping kantor desa seraya mencari informasi dengan pemilik warung mengenai jalur dan siapa yang bisa di hubungi untuk ke desa Batu Rotok. Hal yang membuat kami tercengang adalah di sepanjang gang perlintasan jalan, separuh jalan digunakan untuk menjemur kopi, tapi itu tentu tidak akan mengalangi lalu lintas, sebab melihat kendaraan roda empat lewat saja jarang. Kami tak menaruh buku di Tangkampulit karena sudah kami titip di pak Haji yang mengajar di desa ini, pertama karena tak ada kenalan kami disini, dan kedua agar kami bisa menghemat waktu perjalanan.

Jalan menuju Batu Rotok tak lebih bagus dari jalan sebelumnya. Sepanjang perjalanan dari desa Tangkan pulit ke desa Batu Rotok di kiri kanan kami adalah  hutan kopi. Sampai akhirnya sekitar jam 10 pagi kami tiba di desa Batu Rotok. Kami tidak singgah di desa ini karena buku buku yang diamanahkan hanya memang di targetkan sampai desa Tangkan Pulit.

Sabtu, jelang jam 1 siang kami tiba di Orong Telu. Kami makan disalah satu warung makan yang ada, rasa sambalanya tak asing, dan benar, ternyata Ibu pemilik warung berasal dari Lombok.

Kami mengira dari Orong Telu ke Lunyuk sudah dekat, atau Lenang Guar lah yang sejalur dengan Lunyuk di jalan lintas Sumbawa. Ternyata untuk ke Lenang Guar dari Orong Telu ini saja perjalanannya memakan waktu hingga dua jam. Benar saja, kami sebagai orang yang bukan asli daerah sini sampai di Lenang Guar setelah 3 jam perjalanan lebih. Asli, jalanannya bagi kami cukup menyebalkan, sangat merusak mental kami, sebentar sebentar jalannya bagus, selang 100 meter jalannya rusak lagi, begitu terus sampai ke Lenang Guar. Mental kami dikacaukan oleh harapan perihal jalan yang kami lewati ini, setiap menemukan jalanan yang 100 meter bagus tadi, kami berharap bisa full bagus dan ternyata tidak, dan bagi kami justru momen ini lah yang sangat mengacaukan mental kami. Psikologis kami terguncang.

Kami tiba di Lunyuk sekitar jam setengah 6 sore setelah melintasi jalanan panjang perbukitan dan berkelok kelok. Untung saja jalannya bagus, tak seperti jalanan sebelum sebelumnya. Niatnya, makan pentol sebentar.

Awalnya kami berencana menginap di Lunyuk, tapi mengira bahwa kami bisa mengejar Taliwang, akhirnya gas lagi ke arah barat. Kami melintasi jalur lintas Sumbawa atau jalur pantai selatannya, melewati wilayah Sampar dan Talonang dengan sajian panoramanya yang memukau, yaa meski kurang terlihat karena hari sudah cukup gelap. Kami berpapasan dengan malam kala masuk ke area hutan Pedauh. Hutan yang gelap, sepi, panjang dan berkelok kelok yang di beberapa belokannya terselip lubang lubang longsoran yang siap memakan korban. Kami baru melihat lampu kala melintasi jalan yang berada dekat dengan smelter tambang disini.

Sekitar jam 8 malam kami tiba di Sekongkang, daerah yang nampaknya cukup ramai dengan kunjungan wisatawan Eropa, konon katanya, ombak pantai Sekongkang adalah salah satu ombak terbaik untuk bermain surfing.

Pada jam 9 malam kami tiba di Maluk, wilayah yang menjadi pusat jalur pengiriman hasil tambang smelter di Sumbawa. Daerah ini cukup ramai bila dibandingkan dengan tempat tempat di Sumbawa yang kami lintasi sebelumnya. Mobilitas cukup padat. Sampai akhirnya kami tiba di Taliwang sekitar jam 11 malam. Kami bermalam di desa Batu Putih kecamatan Taliwang di rumah salah satu sahabat karib dari ketua rombongan kami.

Seberes makan malam kami langsung tertidur, sangat pulas, terbukti dengan rata rata dari kami tidurnya ngorok. Kata orang orang kalau kita tidurnya ngorok, artinya tidur kita berkualitas.

Bangun pagi, sarapan, kemudian menyerahkan buku buku bacaan disini untuk sekolah tempat sahabat karib ketua rombongan kami mengajar. Akhirnya, kami berpamitan untuk beranjak ke Pototano, untuk pulang ke Lombok. Tak terasa perjalanan jelajah literasi edisi Sumbawa Barat dan Sumbawa Besar berakhir.

Terimakasih yang sebesar besarnya kami ucapkan pada setiap insan yang telah membantu kami, atas segala dukungan yang telah diberikan pada kami. Atas segala permakluman yang diwajarkan pada kekeliruan kami, kami ucapkan mohon maaf dan terimakasih banyak. Semoga kita bisa berjumpa di perjalanan perjalanan berikutnya. Terimakasih terkhusus pada Bang Nirwan Ahmad Arsuka dari Pustaka Bergerak yang telah mendukung gerakan kami.

Akhir kata, belum selesai tulisan dan video ini direkam, Bang Nirwan Ahmad Arsuka telah pergi meninggalkan kami; meninggalkan kita semua 7 Agustus 2023 kemarin. Beliau pergi menigggalkan kita dengan mewariskan gagasan dan karya karyanya yang konstruktif, masih ada karya karyanya yang bisa kita pelajari, masih banyak gagasan gagasannya yang bisa kita realisasi.

Mari kita sama sama menundukkan kepala sejenak, dan melangitkan do’a terbaik untuk almarhum bang Nirwan Ahmad Arsuka, semoga beliau khusnul khatimah dan mendapat tempat yang terbaik disisi Allah.

Amiiin… yaa robball ‘alamiiin…

“Bang, karya mu abadi”.

Sekolah Literasi Rinjani: Jembatan Peradaban.

1 komentar untuk “Jelajah Literasi Sumbawa”

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ringkasan

Jelajah Literasi Sumbawa

Dalam mewujudkan harapan besar yang kami dambakan, provinsi Nusa Tenggara Barat menuju provinsi literasi, kami mulai bergerak mengarah ke timur. Dataran tinggi pegunungan Batu Lanteh menjadi tujuan dari perjalanan Jelajah Literasi kali ini. Ini menjadi perjalanan perdana kami. Gagasan serta konsep dari Jelajah literasi ini sendiri sebenarnya sudah sejak lama digagas oleh salah satu kawan dari Sekolah Literasi Rinjani. Namun, baru bisa terealisasi kini di bulan Juni 2023.

Baca Juga:

Scroll to Top