Kecimol: Kelalah Cikar Dokar Montor Liwat

Bagikan

Penulis : Lalu Gitan

“Ape kenen kecimol? kelalah cikar dokar montor liwat.” seru TGH Lalu Supardan, saat mengisi sebuah pengajian di salah satu masjid di Loteng.

Meski Hari Musik Nasional diperingati setiap 9 Maret, sebagai perayaan hari jadi sang Maestro WR Supratman. Namun musik menurut saya adalah perayaan setiap hari, sebab ia menyelinap dalam berbagai ruang dan waktu. Lebih-lebih saat rebahan, sembari scroll story atau saat-saat sedang galau atau kesepian. Musik menjadi teman yang setia hadir di gadget kita, bahkan dalam berbagai perayaan-perayaan adat; Suku Sasak contohnya.

Seperti seni musik pada umumnya, musik di dalam Suku Sasak sama-sama memperhatikan konsep etika dan estetika secara universal, yang dalam penerapannya menggunakan konsep tradisi, yaitu “semaiq” dan “paut” kesederhanaan dan kepantasan.

Pada konsep “semaiq” mengandung makna tidak mengada-ada, tidak berlebihan tetapi dapat dinikmati dan dimaknai. Sementara itu, konsep “paut” mengandung pengertian nilai-nilai kejujuran dalam berekspresi, realistik, karya yang sejalan dengan norma sosial maupun susila. Bahkan kedua konsep ini juga ditegaskan oleh para pemikir di Barat; seni tidak melulu menyoal ekspresi semata. John Hopers misalnya, dalam karangannya tentang “The Philoshopy of Art” mengatakan seni sebagai sebuah arti atas kebenaran dan pengetahuan yang didalamnya terdapat Moralisme dan Estetisisme. Meski kedua konsep tersebut berbeda, Plato dalam Republik dan Laws menegaskan bahwa moral dan estetik ini berhubungan intim dan tidak akan berfungsi secara keseluruhan tanpa yang lain.

Berangkat dari dua pandangan itu, belakangan kita melihat beberapa produk kesenian musik sasak mulai keluar dari konsep yang dimaksud. Entah karena keterbatasan pengetahuan musikal atau mungkin hal lain. Sebut saja Kecimol, tak ada yang salah soal kebebasan berekspresi, namun apakah telah sesuai dengan konsep paut dan mencerminkan moralitas? terlebih dengan penduduk muslim kita yang mayoritas. Atau produk-produk kesenian industri (jajanan) wisata, yang belakangan mulai keluar dari konsep semaiq. Bukan hanya musik, namun secara keseluruhan. Meski tak semua, namun ada banyak hal yang terlalu dilebih-lebihkan, bahkan kerap kali diada-adakan.

Sebagai orang yang telah menempuh dan menyelesaikan studi musik sejak 9 tahun lalu, dan sempat menuliskan buku Ilmiah populer tentang musik tradisional Sasak. Sering kali, di dalam diskursus-diskursus yang saya ikuti, muncul pertanyaan apakah musik Kecimol merupakan tradisi kita? Dengan tegas tentu saya menjawab; tidak, namun dengan komposisi musikal dan fungsinya yang hari ini.

Kita ketahui Karl-Edmund Prier, pendiri Pusat Musik Liturgi di Yogyakarta misalnya, mengatakan bahwa istilah tradisi berarti bahwa suatu warisan dari masa lampau masih berlangsung terus sampai masa kini. Hal ini dapat terjadi secara statis atau tradisionalisme, di mana warisan dipandang sebagai pusaka yang harus dijaga secara utuh.

Dalam pengertian itu, saya ingin menggaris bawahi kata utuh dan pusaka. Utuh di dalam KBBI diartikan sebagai keadaan sempurna (tidak berubah, tidak rusak). Namun jika menilik instrumen yang ada di Kecimol, di dalamnya tentu terdapat beberapa alat musik luar, seperti drum, atau gitar yang berasal dari spanyol. Sedangkan pusaka, jika berpegangan pada Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia (2003) merupakan hasil cipta, rasa, karsa, dan karya yang istimewa dari lebih 500 suku bangsa di Tanah Air Indonesia, secara sendiri-sendiri, sebagai kesatuan bangsa Indonesia. Artinya, jika mengacu pada kedua pandangan ini, saya rasa perdebatan soal keberadaan Kecimol hari ini dapat terjawab.

Kita ketahui juga, dalam adat pernikahan Suku Sasak terdapat sebuah prosesi yang dinamakan nyongkolan, dalam tradisi ini tentu ada maksud dan tujuan yang ingin disampaikan pihak mempelai Pria kepada mempelai Perempuan dengan merayakannya sepanjang perjalanan, salah satu tujuannya adalah menyampaikan kabar sukacita kepada sanak saudara serta masyarakat sekitar, bahwa telah berlangsungnya sebuah pernikahan.

Nyongkolan bermaksud mengajak masyarakat yang menyaksikan, agar turut serta dalam kebahagian kedua mempelai tersebut. Dalam proses perayaan inilah muncul kesenian tradisi yang kita kenal dengan nama “Gendang Beleq”. Seni musik yang menjadi pengiring pengantin ini, bukan saja sebatas ekspresi, sebab bagi saya, ini tidak dapat dilepaskan dari prosesi nyongkolan itu sendiri. Bahkan dapat dikatakan nyongkolan adalah Gendang Beleq itu sendiri, terlebih jika kita membaca dari kacamata tradisi, Gendang Beleq memiliki sejarah serta keunikan tersendiri bagi masyarakat Sasak. Keunikan yang tidak dimiliki oleh kebudayaan lain, bahkan di dunia, itulah sebabnya di era globalisasi hari ini sebuah tradisi menjadi sangat penting untuk menjaga jati diri bangsa.

Seiring perkembangan zaman, terjadi banyak perubahan yang sangat cepat. Jika sebelumnya Gendang Beleq menjadi musik pengiring pengantin, akhir-akhir ini banyak kita temukan prosesi nyongkolan tidak lagi menggunakan Gendang Beleq sebagai pengiring, namun telah berubah diiringi musik modern dan diisi lagu-lagu populer yang sedang viral di masyarakat  oleh kelompok musik kecimol itu sendiri.

Pun jika mengerucut ke tangga nada yang digunakan adalah tangga nada diatonik, beda halnya dengan musik tradisi yang memiliki pakem tangga nada sendiri. Maka, hal yang patut disoroti secara berlebihan di dalam kecimol ini adalah kesenian salah konsep. Artinya, kecimol bukanlah seni tradisi dan bukan juga musik pengiring tradisi. Kondisi itu pun kemudian, menjadikan Gendang Beleq secara tidak langsung mulai terpinggirkan sebagai musik pengiring dalam tradisi nyongkolan. Dan jika Gendang Beleq sudah terpinggirkan, kemudian digantikan dengan musik-musik modern, lalu tradisi dan keunikan apalagi yang masyarakat Sasak miliki? Lalu apalagi yang dapat kita banggakan sebagai tradisi Sasak selama ini?

Tentu Gendang Beleq bukan satu-satunya seni tradisi masyarakat Sasak, namun Gendang Beleq merupakan bagian dari tradisi Sasak yang sangat layak dan harus tetap dipertahankan dan dilestarikan. Sehingga dalam hal ini, saya hanya ingin mengajak para pembaca agar muncul kesadaran bahwa tradisi nyongkolan, bukan sebatas kegiatan senang-senang belaka. Lebih dari itu, tradisi nyongkolan dan Gendang Beleq telah menjadi bagian dari sejarah, pengalaman, hingga sarana dalam melegitimasi kehidupan tradisi Suku Sasak melalui sebuah prosesi adat pernikahan.

Profil Penulis :

Nama lengkap Lalu Muhammad Gitan Prahana, Lahir di Praya pada 17 Januari 1997. Lulus tahun 2019 di Universitas Negeri Surabaya jurusan S1 Pendidikan Sendratasik konsentrasi Musik. Saat ini bergiat di Tastura Mengajar, sebuah komunitas kecil di Lombok Tengah.

Jika berkenan, silakan saling bertegur sapa lewat Instagram: @lalugitan dan Facebook: Lalu Gitan.
Scroll to Top