Angka ini sungguh mengkhawatirkan dan mencerminkan urgensi penanganan masalah kesehatan di Indonesia. Tingginya prevalensi gangguan mental pada remaja berdampak cukup mengkhawatirkan dalam aspek kehidupan, sosial, bahkan kesehatan fisiknya sendiri. Sayangnya, masyarakat juga orang-orang yang berada di sekitar, menggangap masalah kesehatan adalah masalah yang begitu sepele. Mereka beranggapan bahwa seseorang yang memiliki gangguan kesehatan jauh dari Sang Penciptanya.
Penting untuk diingat, bahwa gangguan kesehatan mental bukanlah pilihan melainkan kondisi yang siapa saja bisa terjadi tanpa memandang usia. Masalah kesehatan juga umumnya diberikan oleh orang sekitar sehingga berdampak dengan jiwanya. Pernyataan-pernyataan yang merendahkan sering kali datang dari orang-orang yang tidak memahami situasi dengan baik. Terlebih lagi, orang tua yang seharusnya menjadi pendukung utama sering kali menekan anak-anak mereka untuk mencapai kesuksesan dan menjadi “sempurna”. Namun mereka jarang melibatkan anak dalam percakapan yang mendalam tentang perasaan dan harapan mereka.
Ketika tekanan dari orang tua terus berlanjut tanpa disertai komunikasi yang baik, remaja akan merasa terbebani dan kesulitan mengekspresikan dirinya dalam segala hal sehingga membuat remaja merasa dirinya terus-menerus terbelengu dengan masalah yang ada. Kurangnya empati dan pemahaman dari orang tua dapat memperparah kondisi kesehatan mental mereka. Hal ini dapat memicu berbagi masalah, mulai dari gangguan kecemasan, depresi, hingga perilaku yang menyimpang dari norma dan agama. Orang tua seringkali menuding anak dengan kalimat seperti “Kamu tidak berguna!” atau “Kamu hanya menyusahkan!” tanpa berusaha memahami perasaan anak. Perilaku orang tua yang tidak suportif dapat memicu rasa bersalah, rendah diri, dan ketakutan pada anak.
Penelitian menunjukkan bahwa kasus bunuh diri di kalangan remaja sering dikaitkan dengan tekanan akademik dan kurangnya dukungan dari orang tua. Di Indonesia kasus bunuh diri mencapai 10.000 per tahun, setara dengan satu kasus setiap jam. Menurut ahli suciodologist, 4.2% siswa di Indonesia pernah berpikir untuk bunuh diri. Pada kalangan mahasiswa, angka ini meningkat menjadi 6.9% yang memiliki niatan untuk bunuh diri dan 3% lainnya pernah melakukan percobaan bunuh diri.
Tekanan dari orang tua dapat muncul dalam berbagai bentuk, seperti tekanan akademik, tekanan untuk mencapai kesuksesan finansial, tekanan untuk mengikuti cita-cita orang tua, tekanan untuk memiliki penampilan fisik tertentu, dan tekanan untuk menjalin hubungan sosial tertentu. Anak-anak remaja harus mengikutinya daripada memilih kehendaknya sendiri. Padahal gaya pengasuhan orang tua juga berperan penting dalam tumbuh kembang sang anak sehingga anaknya mampu berkembang dengan baik tanpa memicu gangguan mental. Gaya pengasuhan yang otoriter, di mana orang tua menuntut kepatuhan tanpa memberikan ruang untuk diskusi, dapat meningkatkan risiko masalah kesehatan mental pada remaja. Sebaliknya gaya pengasuhan yang suportif di mana orang tua mendengarkan, mendukung, dan memberikan ruang untuk anak mengekspresikan diri. Hal ini dapat membantu remaja dalam menghadapi tekanan dan menjaga kesehatan mental mereka. Dan juga yang seharusnya diketahui oleh orang tua dan juga calon orang tua; agar tidak ada lagi (berkurang) masalah kesehatan mental yang terjadi di Indonesia.
Selain tekanan dari orang tua dan lingkungan sosial, tekanan untuk memiliki pasangan juga dapat memengaruhi kesehatan mental remaja. Di era media sosial, banyak remaja merasa tertekan untuk memiliki pasangan karena pengaruh teman sebaya atau media sosial. Ketakutan untuk tidak diterima dalam kelompok sosial atau merasa ketinggalan zaman (FOMO) dapat mendorong remaja untuk menjalin hubungan yang tidak sehat atau tidak siap. Kurangnya dukungan dari orang tua juga dapat memperparah situasi ini. Beberapa orang tua mungkin tidak memberikan ruang bagi anak untuk mengeksplorasi hubungan asmara, sehingga remaja merasa tertekan untuk menyembunyikan hubungannya atau menjalin hubungan secara diam-diam. Hal ini dapat menyebabkan stres dan kecemasan. Hubungan yang tidak sehat yang ditandai dengan kekerasan verbal atau fisik, pengkhianatan, manipulasi, atau kontrol yang berlebihan dapat menyebabkan dampak yang sangat negatif pada kesehatan mental remaja. Penelitian menunjukkan bahwa remaja yang mengalami hubungan asmara yang tidak sehat memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami depresi, kecemasan, dan masalah kesehatan mental lainnya.
Meskipun faktor lingkungan memegang peran penting, faktor biologis dan genetik juga berperan dalam kerentanan seseorang terhadap masalah kesehatan mental.
Dalam situasi seperti ini, remaja membutuhkan dukungan dan bimbingan dari orang tua dan tokoh penting lainnya. Mereka harus didampingi untuk keluar dari lingkaran masalah, bukan malah dihakimi. Kurangnya dukungan dan pemahaman dapat memicu rasa takut dan ketidakmampuan untuk memulai langkah baru yang berpotensi memicu gangguan kecemasan (Anxiety disorder). Remaja yang terus-menerus ditekan orang tuanya untuk meraih prestasi akademik tinggi, sering mengalami gejala gangguan kecemasan seperti kesulitan tidur, mudah panik, dan sulit berkonsentrasi.
Penting bagi orang tua untuk menciptakan lingkungan yang suportif, mendengarkan anak-anak mereka, dan memberikan dukungan emosional yang cukup. Sekolah juga harus menciptakan lingkungan belajar yang sehat dan memberikan konseling bagi siswa yang membutuhkan terapi; seperti terapi perilaku kognitif (CBT), terapi keluarga, terapi kelompok, dan juga dapat membantu remaja mengatasi masalah kesehatan mental mereka. Dukungan sosial dari keluarga, teman, dan komunitas sangat penting untuk membantu remaja mengatasi masalah kesehatan mental. Langkah-langkah pencegahan, seperti pendidikan kesehatan mental di sekolah dan program-program peningkatan kesadaran masyarakat, juga dapat membantu mengurangi risiko masalah kesehatan mental pada remaja.
Kesimpulan:
Masalah kesehatan mental di kalangan remaja di Indonesia adalah isu yang mendesak, dengan satu dari tiga remaja mengalami gangguan mental. Tekanan dari orang tua, lingkungan sosial, dan hubungan asmara sering kali memperburuk kondisi ini. Penting bagi orang tua dan pendidik untuk menciptakan lingkungan yang suportif dan mendengarkan kebutuhan emosional remaja.
Dukungan emosional dan pendidikan kesehatan mental yang baik dapat membantu mengurangi stigma serta meningkatkan pemahaman tentang kesehatan mental. Dengan langkah-langkah pencegahan yang tepat, kita dapat mendukung remaja dalam mengatasi tantangan yang mereka hadapi dan menciptakan masa depan yang lebih baik bagi mereka.
Profil Penulis :
“Penulis bayangan. Peminat psikologi, penyuka kopi, dan masih berjuang mengalahkan rasa malas.”
Bila ada hal yang ingin didiskusikan langsung dengan penulis, silakan berkunjung ke Instagram: @dlrhmd_
Lost in Pressure: “Mengapa Remaja Hari Ini Rentan Masalah Mental?”
Penting untuk diingat, bahwa gangguan kesehatan mental bukanlah pilihan melainkan kondisi yang siapa saja bisa terjadi tanpa memandang usia. Masalah kesehatan juga umumnya diberikan oleh orang sekitar sehingga berdampak dengan jiwanya. Pernyataan-pernyataan yang merendahkan sering kali datang dari orang-orang yang tidak memahami situasi dengan baik. Terlebih lagi, orang tua yang seharusnya menjadi pendukung utama sering kali menekan anak-anak mereka untuk mencapai kesuksesan dan menjadi “sempurna”. Namun mereka jarang melibatkan anak dalam percakapan yang mendalam tentang perasaan dan harapan mereka.