NTB Kekurangan Buku Lokal

Bagikan

Penulis :

Fathul Rahman

“Siapa nama gubernur NTB?”

“Jokowi” timpal siswa yang duduk di Berugak. Siswa lainnya sibuk berbisik hendak bertanya kepada teman-temannya.

“Siapa nama bupati Lombok Timur?”Semua diam.

“Siapa nama camat Sembalun?” Semua angkat tangan demi hadiah bungkus pulpen.

Kegiatan tanya jawab kami tunda lagi. Memberikan kesempatan kepada anak-anak sekolah dasar (SD) di Sembalun. Hari itu di bulan Oktober (2021) bekerjasama dengan Dinas Perpustakaan dan Arsip Provinsi NTB kami membuka lapak baca. Puluhan siswa SD sangat antusias. Naik di ban mobil perpustakaan keliling. Membongkar buku baru. Ada yang duduk menyepi. Ada yang membaca keras-keras. Ada yang meminta ke temannya untuk tukaran buku. Tidak ada yang hanya duduk tanpa memegang buku. Sejam berlalu hingga kemudian siswa meminta air minum. Kami menyiapkan air.

Kuis kedua kami lanjutkan. “Siapa yang tahu nama-nama desa di Sembalun?” Semua kompak menjawab, seratus persen benar.

“Berapa jumlah kabupaten di NTB?”

“Lima!” saut seseorang.

Ada yang ragu-ragu menjawab “enam”, temannya menimpali “tujuh”

“Sebutkan nama-nama kabupaten di NTB? Ayo tadi yang menyebut 5,6, dan 7”. Semua ragu untuk mengangkat tangan.

“Berapa jumlah kecamatan di Lombok Timur?” Ragu-ragu mengangkat tangan.

“Sebutkan nama-nama kecamatan di Lombok Timur?” Kompak menyebut Sembalun. Selebihnya diam, sambil menebak-nebak hingga semenit, dua menit berlalu.

Petugas dari Dinas Perpustakaan yang ikut geleng-geleng kepala. Mengaku sedih. Sedih karena hal-hal sederhana di sekitar siswa tidak mereka ketahui. Sedih karena sebagai salah satu institusi yang turut menyebarluaskan ilmu pengetahuan melalui buku, belum bisa berbuat optimal. Saat ini perpustakaan provinsi NTB sudah membuat eLibrary. Buku-buku dalam format digital yang bisa dibaca secara gratis. Masyarakat yang jauh dari akses perpustakaan tinggal membaca di smartphone mereka. Memang ada keterbatasan, ketika masyarakat tidak memiliki perangkat untuk membaca buku. Sementara jangkauan kendaraan perpustakaan keliling juga terbatas. Jumlah terbatas. Ditambah lagi mobil itu butuh bensin, yang sepanjang 2020-2022 semua anggaran tersedot untuk Covid-19. Di saat normal pun, Dinas Perpustakaan bukanlah menjadi prioritas.

Kuis ketiga kami lanjutkan..

“Sebutkan dua judul buku yang  sudah dibaca?” Semua angkat tangan.

“Sebutkan tiga judul buku yang sudah dibaca?” Semua angkat tangan.

“Sebutkan empat judul buku yang sudah dibaca ?” Sebagian angkat tangan.

Saya mengintip beberapa judul buku yang dibaca para siswa. Di saat kuis saya menanyakan beberapa pertanyaan terkait buku yang dibaca.

“Sebutkan 5 jenis hewan karnivora?” Empat jawaban benar, satu salah. Ini cukup memuaskan.

Berulang saya menanyakan pertanyaan ringan seputar isi buku yang dibaca. Petugas perpustakaan yang ikut tersenyum puas. Mengobati gundah gulana ketika kuis-kuis awal.

Cukup memuaskan ketika siswa banyak yang menjawab beberapa pertanyaan yang ada di dalam buku yang mereka baca. Ini menunjukkan para siswa sebenarnya cepat belajar. Mereka senang membaca, apalagi buku-buku yang dibawa dinas perpustakaan penuh dengan gambar berwarna. Ada yang sekadar melihat gambar, ada yang membaca semuanya. Mulut komat kamit, ada yang membaca dengan suara keras. Didengar oleh kawan di sebelahnya, lalu tertarik untuk membaca buku itu. Kegiatan membaca dan kuis berlangsung selama tiga jam 30 menit. Anak-anak mulai lapar dan pulang. Sangat berharap agar buku-buku itu bisa mereka bawa pulang. Tapi tidak memungkinkan. Buku perpustakaan keliling memang dihajatkan untuk keliling, bukan diam di satu tempat untuk waktu lama.

***

Saya tidak setuju jika anak-anak di daerah kita disebut malas membaca. Tingkat membaca tidak bisa diukur dari berapa banyak kunjungan ke Dinas Perpustakaan Kabupaten. Tingkat membaca tidak bisa diukur dari berapa banyak yang berkunjung dan meminjam buku di Dinas Perpustakaan Provinsi. Perpustakaan hanya bisa diakses oleh orang sekitar. Itu pun terbatas pada jam kerja. Anak-anak yang bersekolah tentu tidak bisa setiap saat ke perpustakaan. Apalagi anak-anak yang jauh.

Tingkat membaca tidak bisa dianggap menurun dari sedikitnya orang belanja di toko buku. Tingkat membaca tidak bisa disimpulan turun ketika banyak toko buku gulung tikar. Pengalaman para relawan literasi ke kampung-kampung, ada dua hal yang sangat disambut baik; ketika ada permainan dan ketika membawa buku. Bagi mereka buku adalah barang langka, sebuah makhluk ajaib yang pertama kali mereka lihat.

Sebuah Madrasah swasta di Montong Ajan, Kecamatan Praya Barat Daya Lombok Tengah adalah bukti. Saat pertama kali saya ke sana, hanya ada beberapa buku pelajaran usang. Saya dapat sumbangan buku bacaan dari relawan. Saya membawanya ke sekolah itu. Semua rebutan membaca, dari pagi hingga pulang sekolah membaca buku. Beberapa bulan kemudian saya ke sekolah itu. Buku-buku yang baru itu tampak kumal dengan beberapa sampul terlepas.

Berbahagialah ketika membaca buku baru kemudian menjadi kumal. Dulu saya pernah melihat buku di sebuah perpustakaan desa. Masih baru. Setiap halamannya masih rapat. Beberapa buku belum dibuka bungkusnya. Rapi ditata. Sangat bersih. Saya ragu buku itu pernah disentuh.

Di sebuah Madrasah di pelosok Desa Tangkam Pulit, Kecamatan Batulanteh, Kabupaten Sumbawa, buku adalah oleh-oleh yang dinantikan para siswa. Dari kota Sumbawa Besar kami butuh waktu 8 jam naik mobil Hardtop untuk mencapai desa itu. bisa dibayangkan seandainya siswa itu ke perpustakaan kabupaten untuk sekadar membaca atau meminjam buku. Sinyal baru mampir tahun 2019 di desa itu. Itu pun hanya sekadar untuk SMS. Sebuah antena parabola bertuliskan BAKTI membantu masyarakat di sana terhubung dengan dunia luar melalui HP. Tapi ketika menanyakan artis, semua siswa bisa menjawab. TV adalah hiburan modern satu-satunya di desa itu. Ini sama seperti di desa-desa terpencil. TV satelit mampu menjangkau. Tidak heran ketika anak-anak lebih tahu Jakarka ketimbang daerah mereka sendiri.

***

Buku lokal sangat kurang di Nusa Tenggara Barat. Buku-buku yang mengenalkan daerah kita, buku-buku berwarna dan bergambar yang mengenalkan hewan yang ada di Rinjani dan Tambora. Buku yang menarik yang menjelaskan keberagaman budaya di daerah kita. Buku edukatif yang menjelaskan geografis daerah kita. Apakah NTB kekurang penulis? Tidak!

Beberapa penulis (sastra) lahir dari NTB. Bahkan memenangkan beberapa sayembara bergengsi. Saya membayangkan ke depannya Dinas Perpustakaan Kabupaten/Kota dan Dinas Perpustakaan Provinsi mengajak para penulis local untuk membuat karya tentang daerah kita. Saya rasa teman-teman penulis dengan senang hati membantu. Walaupun itu bukan yang mereka geluti sehari-hari, tentu saja mereka mau meluangkan waktu untuk menciptakan karya untuk mencerdaskan anak-anak NTB.

Ada beberapa penulis lokal yang pernah menerbitkan buku anak-anak. Tidak banyak, saya pernah membaca dan melihat. Bukunya sangat menarik. Ada Masmo (Sudomo), seorang guru SMP di Lingsar yang rajin menulis buku cerita untuk remaja. Ada mbak Zee (Ziadah) yang setahun ini menerbitkan buku dongeng Lombok. Kisah Putri Nyale dikemas dengan gaya baru, pengalaman Mamiq Selamet Lembah Hijau (peraih Kalpataru dari Lotim) menjadi cerita yang menginspirasi. Berkolaborasi dengan ilustrator lokal, buku itu seperti oase di tengah keringnya bacaan anak-anak bertema lokal.

Saya kenal beberapa relawan, beberapa guru yang jago mendongeng. Tinggal mengemas dongeng itu dalam bentuk visual. Bisa berupa buku dengan banyak ilustrasi, bisa menjadi video mendongeng. Kolaborasi pendongeng, penulis, ahli visual dibutuhkan dalam membuat karya “buku lokal” ini. Pemerintah bisa membantu memfasilitasi, membantu menerbitkan buku itu. Tentu saja memberikan apresiasi untuk para penulis, ilustrator, dan pembuat video.

Beberapa waktu lalu ada diskusi bersama Prof Atun Wardatun, guru besar UIN Mataram yang baru-baru ini menginisasi “Mbojo Writer Festival”. Dalam diskusi di sebuah warung kopi di Mataram, beliau menilai apresiasi terhadap karya-karya intelektual, apresiasi terhadap dunia literasi, apresiasi terhadap ilmu pengetahuan masih kurang. Berbeda dengan perhatian dengan apresiasi terhadap “fisik” misalnya di bidang olahraga. Prof Atun mengapresiasi prestasi olahraga, tidak mempermasalahkan bonus yang miliaran rupiah. Tapi pada saat yang sama, sangat kecil apresiasi terhadap dunia ilmu pengetahuan. Jika saja secuil dari bonus-bonus olahraga, jika saja secuil dari belasan miliar untuk “operasional” olahraga itu diberikan ke dunia literasi, betapa bergairahnya dunia literasi di NTB.

Sebagai contoh kecil, untuk membuat sebuah buku bagi anak-anak dibutuhkan; 1 orang penulis, 1 orang ilustrator, 1 orang layout dan satu orang penyelaras akhir. Honornya tidak perlu sebanyak satu kali SPPD pejabat. Tidak akan sebanyak belanja rutin honor untuk para atlet dan pelatih. Untuk mencetak buku itu (full colour) Rp 75.000 saja sudah bagus. Jika ingin mencetak 2.000 pcs, maka dibutuhkan Rp 150.000.000. Ada ribuah penerima manfaat dari buku tersebut. Siswa, guru dan tentunya masyarakat umum.

Tidak masalah jika di dalam buku itu nanti ada sambutan gubernur atau sambutan bupati. Toh sekalian mengenalkan diri ke anak-anak NTB. Jangan sampai seperti di Sembalun itu. Anak-anak tidak tahu siapa gubernurnya, tidak tahu siapa bupatinya, tidak tahu kampung halaman sendiri.

***

Dalam empat tahun terakhir saya dan beberapa teman berkolaborasi untuk membuat dan menerbitkan buku lokal. Di awal program ini ada tiga komunitas; Sekolah Literasi Rinjani, UAC Creative Studio dan Perpustakaan Lembah Hijau. Ide sederhananya, kita semua punya pengalaman masa kecil, punya imajinasi. Maka tuangkan dalam tulisan, lalu ada tim yang akan membuat ilustrasinya. Karena saat itu saya bekerja di Geopark Rinjani, saya menitip agar ada muatan lingkungan dan budaya lokal. Beberapa dicetak, didistribusikan secara terbatas ke komunitas. Menjadi bahan belajar dan permainan ketika berkunjung ke sekolah.

Pecah telur. Begitu lahir satu karya, berkembang karya lainnya. Komunitas yang terlibat semakin banyak. Kami sampai bikin kegiatan di Taliwang Kabupaten Sumbawa Barat. Sudah belasan komunitas yang terlibat dalam seluruh proses ini. Semakin banyak teman, semakin banyak karya. Tapi di situ kami sedih karena banyak keterbatasan.

Kami dapat ide juga dari kegiatan di Kantor Bahasa Provinsi NTB. Mereka rutin menggelar lomba menulis naskah cerita gambar. Hasilnya keren-keren. Beberapa yang lolos seleksi adalah sahabat kami juga, yang sejak awal ikut di kolaborasi ini. Tapi tidak semua karya bisa diproses. Ada keterbatasan. Nah, kami mengambil celah itu. Ada beberapa sahabat yang baru belajar menulis. Sayang sekali jika tidak berlanjut karena tidak memiliki wadah. Di Kantor Bahasa ada keterbatasan karena itu lomba.

Kami akhirnya mengajak mereka untuk berkolaborasi, menampung karya itu. Masih banyak kekurangan. Tapi kami sadar, jika tidak diberi kesempatan tumbuh, tidak akan pernah ada kesempatan memperbaiki kekurangan. Karena itulah, kami semakin semangat menebar energi tersebut.

Tahun ini kami dapat dukungan untuk membeli perlengkapan penunjang dari PLN Peduli. Alhamdulillah terasa sekali perubahan. Semakin semangat berkarya. Muncul juga website www.literasirinjani.id tempat kami menampung karya teman-teman yang baru belajar menulis. Kami menyiapkan ruang agar bisa sama-sama belajar, sama-sama tumbuh dan sama-sama berkembang.

Profil Penulis :

Fathul Rakhman

Jurnalis sejak 2008. Banyak menulis isu lingkungan, pariwisata, budaya, dan sosial. Pernah mengikuti program International Media Visit 2017 ke Australia. Beberapa kali mengikuti kegiatan di berbagai daerah di Tanah Air. Beberapa kali menerima hibah liputan jurnalistik. Beberapa karya jurnalistiknya bisa dibaca di www.mongabay.co.id
Saat ini menjadi relawan di Sekolah Literasi Rinjani. Bisa dikontak di media sosial FB/IG @FathulRakhman, Tiktok @Jajarkarang01
Scroll to Top