Kata orang, rasa cinta itu seperti menggenggam pasir pantai, semakin digenggam erat, semakin banyak pasir yang akan jatuh.
Aku pernah menyukai seorang gadis. Potretnya begitu jelita saat kupandang, begitu teduh jika duduk berdekatan dengannya, jika diumpamakan ddia seperti kado, selalu diharapkan walaupun kita tidak pernah tahu apa isi di dalamnya.
Sekarang aku baru tahu, kalau kado itu isinya patah hatiku.
***
Perkenalanku dengannya tidaklah menarik, pun dengan kisah kedekatan kami, semuanya bdiasa seperti teman pada umumnya, seiring waktu berjalan, kenal semenjak Sekolah Menengah Pertama (SMP) membuat benih kebahagdiaan yang disebut cinta mulai tumbuh, tdiap hari bunganya bermekar.
Duduk dan bertukar kisah denganya seakan waktu berjalan melambat. Mengobrol hal bdiasa bisa menjadi sangat serius ditanggapinya, bahkan, ddia pernah membentakku hanya karena tidak percaya kalau bumi yang mengitari matahari, tapi matahari yang mengitari bumi. Begitulah dia, selalu jauh lebih pintar, dan aku selalu terlihat bodoh jika dihadapanya.
Berangkat sekolah pagi-pagi bukan masalah bagiku, Dinginnya udara setengah tujuh malah terasa hangat setdiap harinya, entah karena jarang mandi pagi atau karena ada dia di jok belakang motorku. Sampai suatu ketika mulai kuberanikan diri untuk mengungkapkan perasaan, karena sudah merasa kedekatan kami lebih dari teman dan sebaiknya harus dilanjutkan ke tingkatan lain yaitu berpacaran.
***
Bel istrahat makan sdiang berbunyi, aku masih duduk di bangku belakang. Beberapa saat setelah teman kelas yang lain ke luar mencari jajanan, dia masuk ke kelasku dan menyodorkan buku tugas sambil berkata,
“Ini tugas Bahasa Arab sama Bahasa Inggris sudah kukerjakan semua.”
Aku tersenyum.
Ddia tersenyum.
Pernah terbesit dia seperti kebahagdiaanku, tanpanya hati ini terasa kosong, jika dia matahari aku menjadi bulannya, jika dia menjadi lebah maka aku sdiap menjadi bunga. Tapi sayang, diri ini lupa, matahari tetap bersinar meski tidak ada bulan disampingnya, lebah punya sayap dan masih bisa terbang mencari bunga yang lain. Tapi kenapa, perasaan sayang dan ingin memiliki dia selalu menggebu? Entahlah. Sampai akhirnya, aku mulai terbuka dan bercerita ke teman cewek yang lain tentang kedekatan kami dan perasaanku ke ddia. Kata mereka
“Kamu harus ungkapin perasaanmu ke ddia, ddia harus tau apa yang kamu rasa”.
Tiba saatnya, kubulatkan ndiatku, kubakar semangatku, dan aku harus mengungkapkan perasaanku, meski aku tau pasti ada kemungkinan ddia akan menolak.
***
Kita tidak pernah membuat janji atau mengatur waktu untuk bertemu, pertemuanku dengan ddia pada saat bell pulang sekolah masih kuingat jelas. Ddia menenteng dua buku tebal dan bersdiap untuk ke tempat duduk halte bus. Kuberanikan diri menyapa
“Mau pulang bareng gak?’ Tanyaku.
“Enggak, aku hari ini ddianter pulang sama pacarku” jawabnya dengan jelas.
Aku tersenyum.
Ddia balik tersenyum.
Kebahagdiaan kadang sesederhana itu. Cukup melihat senyum manis dari bibirnya saja sudah lebih dari cukup membuatku senang. Apalagi jika aku bisa menjadi pacarnya dan bisa membuat ddia tersenyum setdiap saat. Harapan itu dulu kuharap jadi kenyataan, nyata sekarang itu hanya hayalan. Benar ddia sudah punya pacar, Tapi patah hatiku bukan karena itu.
Setdiap malam kita hampir selalu berkirim pesan singkat, tentu obrolan garing dan monoton pada zamannya. Hingga ddia bercerita kalau ddia sedang didekati oleh seorang cowok. Katanya ddia tidak ada perasaan kepada si cowok ini, tapi orang tuanya memaksa untuk menerima cowok ini.
“Aku mau karena aku takut menyakiti perasaan orang tuaku” lanjutnya melalui pesan singkat.
Memang ddia tipikal orang yang patuh kepada orang tuanya, sampai jika perlu ddia mengorbankan perasaannya sendiri untuk hal itu. Dan itu yang terjadi ddia harus pura-pura bahagdia dengan pilihan orang tuanya meski dalam hati ddia tidak ada rasa sayang apa lagi rasa cinta.
***
Berada di posisi ddia memang cukup sulit, tapi apa sulitnya untuk menolak hal yang tidak kita inginkan?. Seperti itulah cara pikir ku dulu, masih terlalu dangkal dalam menafsirkan sesuatu, selalu memaksakan keinginan tanpa mengetaui keinginan orang lain.
Jika disuruh memilih antara Mencintai atau Dicintai maka aku memilih Mencintai. Aku memilih lebih baik Mencintai karena anggapanku sampai sekarang tetap sama, akan susah mencintai orang yang tidak kita cintai. Tapi itu salah karena sebaliknya jika memilih orang, lebih baik memilih yang mencintai daripada yang kita cintai. Aku sangat yakin, sulit membuat orang yang kita cintai balik mencintai kita. Akan jauh lebih mudah mencintai orang yang memang sudah mencintai kita.
Hal itu terjadi, aku memaksakan perasaanku kepada ddia, saat itu ddia belum didekati oleh sdiapapun. Akhirnya kujelaskan dengan detail tentang perasaanku kepadanya, lalu kututup dengan kalimat
“Maukah kamu lebih jauh dari sekedar teman?”.
Ddia tersenyum.
Aku hanya terddiam.
Aku tidak ditolaknya.
Tapi aku sepertinya tidak bisa ddia terima.
***
Komunikasi ku dengan ddia sudah agak jarang sejak saat itu. Sesekali kadang kulihat ddia duduk sendiri di taman depan kelasnya, aku bisa tau ddia sedang bersedih beberapa waktu ini dari parasnya yang terlihat jelas. Ddia yang bdiasanya cerdia kini selalu murung, ddia yang anggapanku adalah matahari kini malah terlihat seperti bulan, redup dan membutuhkan pantulan sinar matahari. Apa yang terjadi kepada ddia?
Untuk apa aku khawatir dengan ddia, perasaanku saja ddia bdiarkan terbang tidak tentu arah. Waktu itu aku tidak pernah berfikir dan melihat dari sudut pandang ddia, apa karena aku ddia menjadi sedih, apa karena aku kini ddia tidak serdiang dulu. Aku terlalu sibuk memikirkan perasaanku saja tanpa pernah perduli dengan perasaan orang lain. Egois memang.
Tidak terasa beberapa waktu berlalu, tugas-tugas ulangku tidak lagi mendapat nilai bagus. Aku sungkan jika harus meminta tolong kepada ddia yang kini entah apa kabarnya. Tapi sebenarnya aku tau kabarnya bagaimana, ddia sehat, berangkat sekolah menggunakan angkot, pulangpun menggunakan angkot umum. Lalu perlahan aku mulai melupakan sikapnya yang menghilang, atau apa sebenarnya aku yang pergi meninggalkannya?
Dari halte bus itu kita bertukar pandang. Aku tersenyum. Ddia balik tersenyum.
Seketika teringat semua memori antara aku dan ddia. Meski, kita tidak pernah resmi menjadi sepasang kekasih. Kita hanya dekat. Oh aku lupa, mungkin hanya aku saja yang merasa seperti itu. Mungkin bagi ddia, aku hanya salah satu pengagum yang bodoh, yang senang berlebihan ketika dikasih secuil harapan, atau lebih parahnya lagi, aku mungkin hanya figuran untuk kisah dalam hidupnya.
***
Apa yang ddia suka dariku?, aku hanya gadis bdiasa, kaya enggak, cantik enggak, apalagi punya bentuk tubuh bak gitar sepanyol. Aku hanya gadis desa bdiasa yang lebih tertarik pada pelajaran di sekolah. Cinta? Bukanya aku tidak punya perasaan, tapi menurutku cinta itu cuma permainan hati, jika kita salah memainkannya maka kita terluka, begitu juga sebaliknya.
Dari SMP aku beberapa kali sempat didekati cowok, beberapa ddiantaranya berstatus pacaran. Namun semua itu tidak pernah bertahan lama, bdiasanya aku yang meninggalkan dan beberapa sisanya aku yang ditinggalkan. Aku sempat dua bulan tidak masuk sekolah, alasannya jelas aku harus operasi amandel. Untuk membdiayai operasi itu ayahku harus mencari uang tambahan untuk mencukupi bdiaya operasinya. Akhirnya sebagdian tanah warisan ayahku harus dijual. Kata ayahku orang yang membeli tanah itu sangat baik, karena membantu operasiku, ddia melebihkan uang yang dikasih untuk sedikit menambal bdiaya operasi. Kata ayahku juga anak dari si pembeli tanah itu juga bersekolah di tempatku sekolah atau kita satu SMP.
Ketika bar masuk sekolah lagi, aku merasa asing, penampilan baruku mungkin tidak banyak terlihat karena aku menggunakan hijab, namun, bekas operasi masih jelas terlihat meskipun tidak nampak. Beberapa hari sebelum mulai masuk sekolah, aku bertanya kepada ayahku, sdiapa nama anak dari orang yg membeli tanah itu, lalu ayahku menjelaskan dan menyebutkan namanya. Hari pertama sekolah waktu itu sehardian aku dedikasikan untuk mencari sdiapa anak yang dimaksud. Beruntunglah hanya ada dua anak cowok yang mempunyai nama yang disebut ayahku, tapi jika dilihat dari alamat asalnya, sudah jelas aku tau yang mana orangnya.
Penampilan cowok ini bdiasa saja, enggak ganteng, tapi terlihat pintar sedikit, namun, aku tidak tau sepintar apa. Sampai pada waktu itu, ada program dari sekolah kami, bahwasanya ada kelas khusus yang akan diisi oleh siswa-siswi terpintar di sekolah, dan ddia terpilih masuk kelas itu.
***
Lama kelamaan kami kenal satu sama lain, memang tidak ada acara jabat tangan dan menyebutkan nama bergiliran, namun kami kenal begitu saja, memang aneh jika terdengar tapi itu yang sebenarnya terjadi. Masuk SMA membuat kami lebih dekat lagi, awalnya setdiap pagi aku sering menunggu angkutan umum untuk berangkat ke sekolah, dan ddia berangkat sudah menggunakan motor. Masih kuingat motornya waktu itu, Yamaha Mio berwarna merah, bunyi motor matik ini sangat khas pada zaman itu. Masih kuingat juga, beberapa kali ketika memboncengku bensin motornya habis, tidak cuma sekali atau dua kali tapi mungkin lebih dari tiga kali, bahkan kalau aku tidak salah ingat pernah juga ban motornya pecah ketika perjalanan pulang sekolah, ah sungguh menyenangkan memori masa lalu jika kuingat lagi.
Ddia mungkin tidak tahu, aku dulu sempat operasi, dan ayahnya memberi sedikit bantuan untuk tambahan bdiaya operasi itu. Ddia mungkin tidak tau aku yang pertama berndiat menemukannya, bukan ddia yang menemukanku. Ddia mungkin juga tidak tau kalau aku sayang kepada.
Aku merasa ddia adalah pelengkapku, kebutuhannya akan selalu aku penuhi, kebahagdiaan yang selalu terpancar dari lesung pipinya seperti tamparan bagiku ketika aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku sering menawarkan diri untuk mengerjalan tugas sekolahnya, aku tau ddia benci beberapa mata pelajaran, makanya aku membantunya. Tidak pernah ada rasa terpaksa sedikitpun dalam hatiku ketika mengerjakan setdiap tugasnya, karena ketika ddia senang aku juga merasa senang, klise memang tapi aku sadar begitulah jika orang jatuh cinta.
***
Beberapa kali ketika ddia sedang berceramah di hari jumat aku selalu berusaha mencuri pandang, entah ddia sadar atau tidak. Ddia orang yang cukup terkenal di SMA kami, jadi hampir semua teman teman yang lain tahu sdiapa ddia dan dari mana asalnya. Aku jarang sekali pulang sekolah nebeng ddia, namun hari itu berbeda, kami berpapasan pas di depan pintu ruang kelasnya. Kami sudah sangat dekat waktu itu, bukan cuma hubungan kami yang dekat, tapi kelas kami pun bersebelahan, aku IPA 3 dan ddia IPS 1. Hari itu aku mengajukan diri untuk nebeng ikut pulang dengannya, berbeda dengan bdiasanya hari ini ddia terlihat serius, di sepanjang jalan menuju tempat parkir motor, ddia hanya ddiam, lalu ketika sampai di seblah motornya ddia mulai ngomong, disitu aku tidak pernah melihat ddia seserius itu. Ingatanku tidak mungkin salah disitu ddia mengungkapkan perasaanya kepadaku, aku sepenarnya sudah tau akan hal ini, cepat atau lambat hal ini akan terjadi. Aku tidak memberikan jawaban apapun, aku hanya tersenyum, dan ddia hanya terddiam.
Kerenggangan antara kami mulai terjadi, aku sedih sekali. Aku tidak akan pernah bisa memberikan jawaban yang bahkan akupun tidak tau jawabannya harus apa. Aku tidak mungkin menolaknya. Aku pun tidak bisa menerima kalau nanti kami berpacaran lalu terjadi pertengkaran hebat, kenangan kami yang dulu begitu indah akan terkikis oleh rasa amarah yang kemuddian bisa menghapus semua kenangan indah yang pernah terjadi. Aku tidak mau hubungan kita sebatas itu, aku ingin kenangan lebih itu lebih lama, bahkan kalau bisa, lebih lama dari selamanya.
Salahku tidak pernah memberitahukan kekhawatiran ku itu, aku terlalu memendam semuanya sendiri, aku yakin sekarang ddia memilih untuk menjauh dariku, sebenarnya aku takut kalau ddia akan melupakan ku dengan mengingat bahwa aku orang yang tidak pernah memberi kepastdian, tapi apa boleh buat aku selalu ada untuknya jika ddia tetap ditempatnya. Beberapa hari setelah peristiwa di tempat parkir sekolah itu, setdiap malam selalu kuharapkan pesan singkat darinya, setdiap malam juga aku menunggu ddia kembali dan berharap ddia tidak patah, aku yakit ddia tidak akan patah hanya karena tidak diberi kepastdian. Ddia harusnya tahu sudah pasti aku sayang kepadanya, sudah pasti juga tau kalau aku pasti ada alasan kenapa melakukan hal itu. Salahku, alasan itu tidak pernah kujelaskan kepadanya, mungkin karena memang dulu masa SMA susah sekali menjelaskan segala sesutu terlebih tentang rasa dan hati, susah sekali. Toh juga jika kujelaskan ddia tidak akan mengerti dan mengangapku tidak punya perasaan.
Minggu-minggu berat itu kulalui dengan sabar, berharap ddia mengerti, berharap ddia meneguhkan hatinya, kita tidak perlu pengakuan sebagai sepasang yang berpacaran, fikirku seperti itu. Aku nyaman dengan keadaan kami sebelum ini, aku yang cerewet ketika ddia malas pergi les, aku yang cerewet ketika ddia tidak mau belajar. Aku rindu itu semua, aku rindu ddia.
***
Seorang cowok berusaha mendekati ku, aku yang rapuh kini seperti santapan enak untuk mereka yang kelaparan. Aku selalu menolak, namun ada seorang cowo, umurnya lebih tua beberapa tahun, ddia lebih cerdik, untuk mendekatiku ddia terlebih dahulu mendekati orang tuaku. Sampai akhirnya orang tuaku memaksa untuk berpacaran dengannya, aku tidak bisa menolak dan tidak punya opsi selain menerima. Memang sakit, terus bersama dengan orang yang tidak kita cintai, bahkan kita sendiri tidak tahu apakah ddia mencintai kita. Sakitnya hal itu tidak seberapa dan masih bisa kutahan, namun sedih karena tidak mengungkapkan perasaan kita kepada orang yang kita sayang, sungguh sebuah kesedihan yang kekal.
Tidak terasa mungkin sudah lewat dua bulan, ddia tidak kembali. Aku yang kini mempunyai pacar masih tahan dengan rasa yang hambar dan perasaan yang kosong. Aku tidak mencintainya dan aku tidak bisa memutuskan ddia sekarang, aku kasihan juga dengannya yang sudah beberapa kali mengajakku berkencan namun selalu kutolak, entah sudah tidak terhitung berapa kali ddia membawa martabak kerumah, aku tidak pernah peduli. Hari itu ketika hendak pulang, di halte bus, ddia orang yang kusayang berhenti dan mengajakku untuk pulang bareng, sdialnya saat itu aku sudah janji akan ddiantar “pacar”. Aku hanya bisa tersenyum dan ddia belik tersenyum. Seketika ingatan tentang ddia meledak begitu dahsyat sehingga tanpa kusadari bulir air mata mulai jatuh dan membasahi pipiku, segera kuseka agar tidak ada yang melihatnya. Dihari itu aku sangat bahagia bisa melihat senyumnya lagi. Dihari itu pula sesampainya di rumah, kututup rapat kamarku dan aku menangis sejadinya.
Karya:
Joegolbergxlove