Perempuan Adat: Merawat Jejak Kapas Masyarakat Bayan 

Bagikan

Penulis :

Nelda Hannia

Raden Driwali (67), duduk di pondok bersama istrinya Irayu (63). Raden Driwali merupakan tokoh adat di Bayan, yakni sebagai Raden Penyunat atau juru khitan dengan jabatan turun temurun.  Dari atas pondok sederhana, ia menunjuk pohon kapas miliknya. Jenis kapas yang ditanam adalah kapas lokal yang sudah sejak dulu ditanam masyarakat setempat dengan ciri pohon yang tinggi dan biji yang besar. Baginya komoditas kapas penting sebagai bagian dari ritual adat.

Kapas bagi masyarakat Bayan sangat penting sebagai bahan kain tenun. Tidak hanya itu saja, benang kapas diperlukan untuk ritual, baik ritual daur hidup maupun mati, serta ritual pribadi ataupun komunal. Kapas dipakai untuk membuat benang dan kain kombong bagi anak kecil, mengikat keranda jenazah, mengikat tiang berugak, mengikat uang bolong sebagai gelang anak, untuk isian besek saat seseorang pergi berobat, untuk seserahan menikah, dan berbagai ritual lainnya.

Pohon Kapas Lokal Bayan berusia 2 tahun

Namun, sayangnya, saat ini tidak banyak masyarakat atau petani yang menanam kapas. kalaupun ada, komoditas itu tidak ditanam secara serius. Hanya terdapat beberapa pohon yang ditanam di pinggir pagar rumah atau kebun. Selain itu, tidak banyak orang yang mengolah kapas mengingat proses pembuatan kapas menjadi benang hanya dilakukan oleh orang tua. Salah satu maestro yang masih memintal kapas adalah Surianten (98) dan beberapa perempuan Bayan yang sudah usia lanjut. Tentu hal ini menjadi masalah apabila tidak ada lagi yang melanjutkan aktivitas tersebut melihat urgensi benang kapas di setiap prosesi adat.

Surianten(98) Maestro Benang Bayan sedang memisahkan biji kapas

Ketakutan tidak ada yang menanam kapas dan regenerasi pemintal benang dirasakan oleh Srimanim (52) seorang perempuan adat. “Benang sangat penting. Kalau tidak ada benang, bagaimana cara kita melakukan ritual?” kata Srimanim. Tak heran, karena ia juga berperan penting dalam setiap ritual adat di kampungnya. Saat bertemu dengannya ia dengan senang hati memperlihatkan kepada saya isi dari seserahan ritual yang berisikan beras, benang, sirih pinang, tembakau, uang bolong, uang kertas dan penutup dari kain tenun (usap). Ia menyebut semua perlengkapan tersebut sebagai “Beras Benang”, suatu tradisi yang harus diteruskan dan dijaga oleh generasi berikutnya.   

Beras Benang
Terdiri dari Beras, Lekoq Buaq (sirih pinang), Benang, uang bolong, tembakau, uang kertas dan penutup kain tenun

Kapas dan perempuan merupakan suatu hal yang tidak bisa dipisahkan, benih kapas disimpan, diolah dan dikelola oleh perempuan menjadi benang dan kain tenun yang indah nan cantik. Dalam ritual yang disebutkan sebelumnya, sebagian besar di antaranya merupakan aktivitas yang dilakukan oleh perempuan. Pada masyarakat Bayan, perempuan memiliki posisi strategis, yakni sebagai pengatur dan pemimpin di beberapa prosesi. “Gumi Bayan Gumi Nina” yang berarti Bumi perempuan adalah ungkapan yang sering diucapkan masyarakat Bayan. Bermakna bumi perempuan memberikan kesuburan atas kehidupan untuk kemaslahatan masyarakat adat bayan, dalam hal ini termasuk kapas.

Kapas menjadi barang berharga juga diceritakan oleh Eli, seorang guru muda di SMK Al Bayan NW (Pertanian dan Pariwisata). Didukung Santiri Foundation, Ia mengajak anak muridnya untuk menanam dan mengembangkan kapas. “Kapas menjadi penting untuk (tetap) ada. Di Bayan kan banyak ritual adat, dan membutuhkan benang kapas. Ini juga menjadi bahan pembelajaran siswa-siswa di sekolah terkait pertanian dan pengetahuan lokal”. Tidak hanya itu, bersama sekolah non formal yakni Sekolah Adat Bayan (SAB) juga menjadikan benang kapas sebagai salah satu mata pelajaran dalam kurikulumnya. Saat ini, Eli bersama perempuan adat di wilayahnya sedang bekerjasama dengan salah satu brand fasion lokal ternama yang berfokus pada pakaian ramah lingkungan.

Siswa-siswi sedang memegang bibit kapas pertanian di SMK Al Bayan NW

Di sisi lain, beberapa sanggar tenun di Bayan , Jajaq Bayan dan Fetung Bayan yang di nahkodai oleh Denda Junita dan Denda Marni, dan beberapa kelopok perempuan lainnya telah berupaya mempertahankan dan mengembangkan tenun asli Bayan. Edukasi tentang kain dimulai sejak dini dengan mengajar anak dan remaja tentang tenun di sanggar dan bahkan menjadi ekstrakurikuler di Sekolah.

Remaja yang belajar tenun di sanggar Fetung Bayan

Keberadaan kapas memiliki nilai penting dalam budaya masyarakat Bayan. Digunakan untuk berbagai keperluan ritual keagamaan dan adat. Meskipun penting, jumlah pohon kapas kian berkurang, peran anak muda mesti ditingkatkan. Sehingga timbul inisiatif seorang guru yang dibantu beberapa lembaga lainnya untuk meneruskan dan mengembangkan kapas di Sekolah sebagai media pembelajaran pertanian dan pengetahuan lokal. Selain itu, perempuan adat yang membangun sanggar tenun sebagai salah satu ruang belajar anak muda. Tentu ini menjadi langkah nyata untuk keberlanjutan benang kapas dan tenun agar tradisi-tradisi di Bayan tetap ajeg dilakukan oleh generasi selanjutnya. 

Profil Penulis :

Nelda Hannia adalah seorang perempuan adat asal Lombok Utara. Penerima beasiswa project foto cerita “Tenun untuk Kehidupan” Batch 2 dari Panna Foto Institute tahun 2024. Ia juga merupakan Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Mataram. Minatnya yang mendalam terkait budaya membawanya aktif di berbagai inisiatif pelestarian dan pemajuan kebudayaan. Saat ini aktif di Santiri Foundation, khususnya dalam bidang pemberdayaan pemuda.

Instagram : @neldahannia
Facebook : Nelda Hannia
Scroll to Top