Umumnya, cerita-cerita yang mengandung pesan moral kehidupan akan dikemas melalui kisah-kisah pilu, tragis-ironis, dan menyayat hati. Dan biasanya, pembaca akan diajak melihat keadaan lingkungan sekitarnya dengan penuh penghayatan, serius dan kalau bisa sambil menangis sesenggukan.
Namun, Gunawan Tri Atmodjo melalui salah satu kumpulan cerpennya, “Tuhan Tidak Makan Ikan”, menawarkan formula yang berbeda dari biasanya. Ia justru mengajak setiap orang, khususnya pembaca setia ceritanya, untuk melihat ironi kehidupan yang tragis melalui cerita humor yang mengundang gelak-tawa.
Kumpulan cerpen ini memuat 21 cerita dan 1 buah esai yang membahas gaya, konsep, dan formula yang digunakan Gunawan dalam cerita-ceritanya. Buku setebal 244 halaman ini menjadi sangat ringan untuk dibaca karena, menurut penulis esai buku ini, menggunakan formula yang disebut tragik-komik. Sebuah formula yang berusaha menyampaikan kisah tragis bin ironis melalui cerita-cerita humor nan jenaka.
Kelucuan sebuah humor berangkat melalui penggambaran perilaku aneh seorang tokoh, ketidaklaziman sebuah peristiwa dan pelesetan-pelesetan istilah umum. Unsur-unsur yang menjadi bumbu komedi di atas dapat kita ketemui dalam cerita-cerita Gunawan ini.
Cerita “Cara Mati yang Tidak Baik Bagi Revolusi”, misalnya, bagi si tokoh utama Zapoivatco, kematian Sang panglima revolusi “Kolonel Aduren” begitu tragis. Bagaimana tidak, seorang pemimpin revolusioner itu harus bertemu ajal di kamar mandi dan harus mati dengan cara yang tidak keren sama sekali. (Mati karena terpleset ingus sendiri). Sampai di sini pembaca akan dilema antara mau ikut sedih atau tertawa, tapi saya yakin ketika sampai pada akhir kalimat dalam cerita pembaca akan memilih opsi kedua.
Dalam cerpen “Imam Ketiga”, nuansa humor akan dibubuhkan pada awal cerita, yakni ketika seorang tokoh bernama Sanusi harus menelan kenyataan kalau posisinya dalam jabatan struktural masjid hanya menjadi Imam Ketiga. Dan posisinya itu menjadi bahan olok-olokan teman sebayanya yang sering bercanda, “Apa persamaan Imam ketiga dengan kiper ketiga?” Lalu teman yang lain akan menjawab, “Sama-sama cadangan dan jarang diturunkan.”
Penggambaran aneh seorang tokoh dan plesetan-plesetan istilah umum dapat kita jumpai melalui cerpen “Bukan Kawan”. Tokoh Didik Rabiulakhir digambarkan sebagai seorang yang cadel dan pecandu candu rokok namun miskin modal. Kebiasaannya yang hanya membawa korek api ketika pergi nongkrong membuat ia dijuluki RPKAD. Umum diketahui bahwa RPKAD merupakan singkatan dari Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat, namun dalam cerpen Bukan Kawan diganti menjadi Remaja Pembawa Korek Api Doang. Kebiasaannya ganti-gantian mengisap rokok dengan temannya akan membuat kita jijik dan tertawa pada saat bersamaan ketika adegan tukar-ludah itu terjadi. Formula tragik-komik itu menjadi lengkap dan dapat kita rasakan pada akhir kalimat melalui kesukuran seorang tokoh Ilham Aji mengetahui bahwa Manajer Perusahaan tempat ia melamar pekerjaan bukanlah Didik Rabiulakhir, teman masa kecilnya yang merupakan seorang RPKAD alias Remaja Pembawa Korek Api Doang.
Menu-menu yang ditawarkan buku ini tak melulu berupa cerita humor, ada juga cerita ironis yang dihadirkan penulis sebagi jeda agar cerita-cerita humor yang disiapkan dapat meledak dan tak berakhir garing. Cerpen “Tuhan Tidak Makan Ikan” contohnya. Cerpen yang mengisahkan kehidupan warga kampung nelayan yang beberapa waktu terakhir jarang mendapat ikan ketika pulang melaut. Hingga sebuah ide untuk meminta solusi pada seorang dukun muncul sebagai upaya untuk mengakhiri penderitaan warga kampung. Dukun itu menyuruh para nelayan pergi melaut pada waktu yang ia tentukan lalu mempersembahkan hasil tangkapannya pada penguasa laut.
Tragisnya, seorang anak dari salah satu nelayan mengetahui sebuah rahasia yang tak banyak warga sekitar ketahui tentang latar belakang dukun tersebut. Dukun yang dikeramatkan itu tak lain adalah seorang sopir truk yang sering membawa buku ke sekolahnya. Namun ia tak sampai hati memberi tahu kepada warga sekitar khususnya kepada ayahnya yang sudah kadung percaya dan menaruh harapan pada dukun tersebut. Sesusai pedoman persembahan yang disampaikan oleh dukun dan kepala kampung, bahwa ikan-ikan hasil tangkapan itu akan dibawa menggunakan truk dan hanya mereka berdua yang boleh mengantarnya ke penguasa laut.
Anak kecil yang mengetahui kebusukan dukun dan kepala kampung yang bersekongkol untuk menipu warga itu menjadi bimbang antara membocorkan rahasia itu atau malah menghapus raut muka bahagia dari warga kampung dan ayahnya. Dengan penuh kekesalan ia bertanya kepada ayahnya,
“Siapa sih penguasa laut ini, yah?”
“Tuhan.” Jawab ayahnya.
“Apakah Tuhan itu makan Ikan, Yah?”
“Anak bodoh, tentu saja Tuhan tidak makan ikan”.
Menurut saya, formula komedi-tragedi yang diusung buku ini cukup sukses membuat pembaca seperti saya tertawa dengan cerita humornya dan sedih dengan kedalaman isi pesannya. Apalagi isu dan fenomena yang diangkat merupakan cerita-cerita yang amat dekat dengan kehidupan sehari-hari.
Namun, setiap karya pasti memiliki kekurangannya. Menurut perspektif-subyektif saya, kekurangan buku ini terletak pada banyaknya kata dan istilah daerah yang tak ada terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia. Sepertinya penulis lupa menaruh indeks pada buku kumcernya ini. Akibatnya, pembaca yang tidak familiar dengan istilah atau ungkapan daerah dalam buku ini cukup sulit memahaminya. Selebihnya, buku ini sangat direkomendasikan kepada pembaca yang suka cerita humor penuh makna. Dijamin ngakak pokoknya
Profil Penulis :
Nama saya Sibawaeh. Saya merupakan Mahasiswa Fakultas Sastra UNW Mataram. Untuk lebih dekat lagi, silakan bertamu ke Instagram (@Siba_niih)