Surga ditutup Sementara; Petaka Turunnya Adam ke Bumi

Bagikan

Penulis :

Ali Sodikin

Adam sudah turun ke Bumi. Bersama Hawa, ia terusir dari tempat itu. Sudah jelas alasan mengapa ia sampai dikeluarkan bahkan kasarnya ia telah terusir dari tempat yang diidam-idamkan seluruh mahluk ciptaan-Nya; Surga.

“Adam sudah diturunkan ke Bumi”, ungkap Jibril kepada malaikat-malaikat lainnya. “Adam? Manusia itu?” balas salah seorang malaikat. Jibril lalu menjawab dengan mengepakkan sayapnya yang konon bisa menyelimuti seluruh jagat alam semesta ini. Semua malaikat yang saat itu mendengar informasi dari Jibril seketika memasang wajah penuh pertanyaan. Mereka tak berani bertanya mengapa Adam sampai diusir dari surga.

“Ia diusir dari surga untuk menjalankan kehidupan di Bumi, sebagai ujian baginya karena telah berani mengabaikan larangan Tuhan. Ia dan pasangannya memetik buah terlarang lalu memakannya”. Sambung Jibril setelah beberapa saat terdiam, menimbang-nimbang apakah bijak ketika membagikan informasi itu.

“Kenapa Tuhan tidak melemparnya ke Neraka saja. Bukankah kehidupan di Bumi itu masih terlampau nikmat jika dibandingkan dengan kehidupan di Neraka?!” balas seorang malaikat. Jibril mendekati malalikat itu dan berkata.

“Siapa bilang kehidupan di Bumi jauh lebih menyenangkan dari pada kehidupan di Neraka? Justru di Bumilah ia akan di siksa dengan berbagai macam ujian. Begitu juga dengan anak cucunya nanti”, jawab Jibril.

“Apa kau tak khawatir jika dia akan membuat kerusakan di Bumi?” cetus seorang malaikat dengan penuh kecurigaan dan wajah resahnya.

“Aku juga sempat menyinggung hal tersebut di hadapan Tuhan, tapi Tuhan membalasku dengan kalimat yang tak bisa aku sangkal lagi”, jelas Jibril. Semua malaikat beranjak dari tempat duduknya, lalu mendekati Jibril dan menantikan jawaban apa yang akan disampaikan Jibril kepada mereka. “Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”, begitu kira-kira wahai saudara-saudaraku sekalian. Lalu semua terdiam dan kembali melakukan tugas mereka masing-masing tanpa ada pertanyaan lanjutan bahkan sepatah kata pun tak ada yang berani mengeluarkannya. Semua kembali dengan perasaan tak karuan. Ragu, resah, curiga dan tak berdaya, bercampur menjadi satu.

***

Setelah beberapa ratus ribu tahun setelah Adam dan Hawa terusir dari Surga dan menjalani kehidupan di Bumi, terlihat jelas perubahan yang terjadi dengan wajah Bumi itu sendiri. Terlebih tahun-tahun sepeninggalannya. Dari Bumi yang lugu dan sangat polos, bak seorang gadis yang gusar ketika cairan merah keluar dari vaginanya, kini menjelma Bumi yang sangat beringas, di mana-mana darah mengalir dan terbuang begitu saja. Pembalasan dendam, perebutan kekuasaan, pembunuhan hingga pembantaian manusia seolah memnjadi hal yang biasa saja.

Dari Bumi yang bahkan tidak tahu apa arti Oligarki menjelma sebagai  tempat yang sangat mengerikan. Di mana kuasa segelintir orang sudah mampu mengatur arah rotasi Bumi, bahkan jalannya kehidupan mahluk lain bisa ditentukan olehnya. Bumi menjelma menjadi tempat yang sangat mengerikan, gedung-gedung meninggi untuk menghalangi matahari menyampaikan pesan dari Tuhan. Senjata dikembangkan untuk menggapai kuasa juga untuk membunuh satu sama lain. Lalu muncul benda yang disebut uang. Uang adalah tuhan itu sendiri. Ia bisa menundukkan kepala seorang agamis yang taat ketika dirinya dihadapkan dengan uang. Ia juga mampu membutakan mata kepala yang sudah diciptakaan dengan sangat baik. Juga mampu membelah berjuta-juta selangkangan yang ada di bumi. Sampai di sini, uang adalah senjata pemusnah yang sengaja diciptakaan anak cucu Adam untuk memenuhi nafsu mereka sendiri dan mengalahkan dominasi Tuhan; Yang Maha Kuasa.

“Ibis, apakah kau pernah mendengar kata Surga?”

“Surga? Apa itu? Makanankah?”

“Bukan. Menurut cerita dari kakekku, Surga itu adalah sebuah tempat di mana kebebasan, kesenangan, kegembiraan dan ketiadaan duka bisa kita dapatkan”.

“Apa aku bebas menyantap makanan sesukaku?”

“Bahkan lebih dari itu. Kakekku pernah bercerita jika di tempat itu apapun yang kamu inginkan, pasti akan segera kamu dapatkan, langsung di depan matamu.”

“Hmmm.. apa itu tidak terlalu berlebihan wahai sahabatku?”

“Tidak”

“Apa aku bisa meminta perempuan-perempuan cantik untuk datang kepadaku dan memperkosaku?”

“Seharusnya itu hal yang sangat mudah di tempat itu. Karena kata kakekku, semuanya, semua yang kamu inginkan”.

“Aku ingin ke tempat itu, apakah kakekmu bercerita tentang bagaimana cara untuk kitab isa sampai ke tempat itu?”

“Hanya sekali, iya, seingatku hanya sekali”, bocah itu memandang langit seolah sedang meminta petunjuk dari sesuatu yang ia sendiri tak tahu apa itu. “Kata kakekku, seseorang yang ingin ke tempat itu cukup dengan mematuhi segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.” Ia menatap temannya seakan sedang meyakinkan temannya atas apa yang baru saja ia sampaikan kepada temannya.

“Perintah siapa?” tanya si teman, sebut saja Ibis.

“Entahlah, kakekku tidak sempat menjelaskan hal tersebut kepadaku.” Balas Azil kembali menatap wajah Ibis yang kini semakin terlihat penasaran dengan cerita yang dibawakannya. “Tapi yang jelas, Dialah yang membuat dan mengatur segala apa yang ada di bumi, langit dan di alam semesta ini. Dialah yang maha berkuasa dan sangatlah besar pengaruh-Nya.”

“Mungkinkah yang dimaksud kakekmu itu adalah Sang Raja?! Bukankah dia yang mengatur kehidupan kita di bumi ini? Mulai dari cara kita berpenampilan, bertutur, makan minum, sampai kesehatan dan umur kita ditentukan oleh Sang Raja. Bahkan kehidupan di Mars tidak akan pernah terwujud jika kuasa Sang raja tidak ada.”

“Bisa saja seperti itu. Tapi..” belum sempat Azil melanjutkan ucapannya, Ibis menyela dan meminta Azil untuk tidak terlalu keras memikirkan hal-hal semacam itu. Karena menurut Ibis, hal semacam itu akan sia-sia saja. Toh juga nanti jika diketahui Sang Raja, mereka berdua akan terkena hukuman, sebab mempertanyakan sesuatu yang telah jelas adanya merupakan sebuah pelanggaran di Bumi pada tahun itu.

Anak cucu Adam hampir sudah memenuhi setiap sisi planet ini (Bumi). Pada tahun itu anak cucu Adam (manusia) sudah mampu melakukan perjalanan ke luar Bumi. Iya, pada tahun itu manusia sudah bisa menyelami gelapnya angkasa tanpa kendala yang begitu berarti. Pergi ke bulan tak ubahnya seperti seorang manusia yang menyebrang jalan untuk membeli rokok ketengan di kios depan rumah mereka pada tahun ini. Adapun Mars mereka jadikan Bumi ke-2 atau tempat tinggal kedua bagi mereka. Pusat pemerintahan di tahun itu berada terletak di Mars, di mana penduduk di Bumi adalah masyarakat kelas menengah ke bawah. Sedangkan Mars diperuntukkan bagi masyarakat menengah ke atas. Manusia yang tinggal di Bumi berpikir bahwa kebijakan tersebut sangatlah tidak adil. Karena kondisi Bumi pada tahun itu sudah sangat memprihatinkan, kerusakan akibat perbuatan manusia sudah terjadi hampir di semua penjuru planet itu.

Gedung-gedung yang dulunya sempat berhasil mengelus wajah langit, kini telah roboh sebab keangkuhan manusia dan hanya menyisakan puing yang telah diselimuti debu setebal lapisan ozon. Tumbuh-tumbuhan menjadi sesuatu yang sangat langka di Bumi pada tahun itu. Pepohonan juga hanya menjadi dongeng sebelum tidur bagi anak-anak Bumi di tahun itu. Pohon dan tumbuhan sejatinya sudah hampir lenyap, ia tergantikan dengan bangunan-bangunan yang manusia sebut sebagai inovasi baru dalam kehidupan manusia pada tahun itu. Namun kenyataannya, semua inovasi yang mereka maksud justru mengantar kehidupan mereka pada kemusnahan berikutnya. Dengan alasan itu, orang-orang yang memiliki kekuasaan tinggi dan harta yang tak terhingga menciptakan proyek Mars Live. Dan itu berhasil.

Manusia-manusia yang tinggal di Mars menjalani hidup dengan penuh kegembiraan. Tak ada yang kurang. Mereka serba berkecukupan, bahkan berlebihan. Segala sesuatu yang masyarakat Bumi impi-impikan hanya menjadi keset bagi orang-orang yang tinggal di Mars.

Adapun Azil dengan Ibis menjalani hidup dengan penderitaan. Mereka sudah tak punya siapapun selain persahabatan mereka berdua. Orang tua mereka sudah lama binasa setelah kebijakan Sang Raja untuk mengurangi populasi di Bumi akhirnya terealisasi. Usia mereka saat ini tepat 25 tahun. Mereka berdua seringkali seringkali menyambung hidup dengan membunuh satu sama lain.  agar bisa mendapat pil kehidupan yang dimiliki manusia lain. Karena pada tahun itu sudah tidak ada lagi pilihan lain selain salling menghabisi satu sama lain, bahkan tak jarang manusia memakan manusia lain. Namun Azil dan Ibis hanya pernah melakukannya sekali saja dalam hidup mereka karena keterpojokkan yang mereka alami.

Pada hari itu Azil dan Ibis sedang bersendau gurau sambil mempertanyakan banyak hal mendasar dari hidup yang mereka jalani saat itu, di tengah-tengah rasa lapar dan haus yang mereka tahan, obrolan terus berjalan. Namun tak disangka-sangka, mereka diserang oleh kelompok manusia lain. Mereka bergelut, mempertahankan diri. Saling melindungi satu sama lain. Berupaya keras untuk tidak berakhir pada penyerangan itu. Mereka terus melawan meski sisa tenaga yang mereka miliki hampir sudah tidak ada. Namun untungnya mereka mampu memenangkan pertarungan itu. Mereka terlihat bangga. Itulah kali pertama mereka bergelud dengan kelompok manusia lain. Mereka terbaring lemas. Sekujur tubuh terbalur darah. Mereka tertawa lepas. Puas karena merasakan kemenangan pertama mereka.

“Apakah kau lihat apa yang ku lakukan barusan?” wajah Ibis hampir tak dikenali Azil sebab darah yang memenuhi sekujur tubuh dan tentu wajahnya.

“Hahaha.. iya, aku melihatnya.” Azil tertawa puas. Mereka hening sejenak. Memandangi langit yang hampir setiap hari ditutupi awan gas yang tak jelas dari mana asalnya. “Kemanakah perginya orang-orang mati?” Azil melipat tangan ke belakang kepalanya untuk dijadikan sandaran. Tubuhnya terlentang. Lemas.

“Yang baru saja kita habisi?” Ibis beranjak dari posisi tubuh terlentangnya, kini dia duduk menghadap Azil layaknya seorang anak yang menemani orang tuanya yang sedang sakratul maut.

“Semuanya. Semua orang-orang yang mati.”

“Entah. Mungkin suatu tempat di Mars sana.” Balas Ibis ceplas-ceplos saja.

“Jika seperti itu, apakah kita harus mati dulu agar bisa merasakan kehidupan yang lebih menyenangkan dan serba berkecukupan?” Azil berdiri dengan sisa tenaganya. Ia berjalan ke arah tiga mayat yang baru saja mereka habisi.

“Darimana engkau bisa tahu kalau kehidupan di Mars jauh lebih baik daripada kehidupan di Bumi?” Ibis bertanya dengan sedikit nada meledek. “Sedangkan kau sendiri tidak pernah menginjakkan kaki di sana.”

“Itulah yang ku dengar dari orang-orang, jauh sebelum kehidupan di Bumi memburuk.”

Obrolan mereka terhenti sejenak. Tidak seperti di cerita-cerita dalam novel yang ketika hening, angin mengelus lembut wajah sang tokoh. Kali ini hening yang mereka rasakan benar-benar hening. Tak ada suara burung. Tak ada suara angin. Tak ada suara ranting pohon yang patah, apalagi suara gemercik air sungai yang mengalir membawa ketenangan. Yang terdengar hanya suara perut kosong mereka yang sedari tadi sebenarnya cukup mengganggu ketika mereka mengobrol. Suara-suara itu bersautan dan terus meminta celah untuk ikut serta dalam obrolan.

Sudah sebulan lebih mereka tidak mengisi perut dengan santapan apapun. Teringat mereka hanya mengkonsumsi pil yang diberikan pegawai Sang Raja. Pil itu bisa bekerja selama satu bulan. Fungsinya untuk menggantikan serat dan nutrisi dalam tubuh setiap manusia yang ada di bumi. Itupun kalau mereka dapat jatah. Kalau tidak, sudah jelas mereka akan mati membawa perut kosong mereka. Pil inilah yang mengganti makanan manusia bumi pada tahun itu. Dalam sekali konsumsi, manusia tidak akan merasa lapar selama kurang lebih satu bulan setelah mengkonsumsi pil tersebut. Sesekali Sang Raja juga berbelas kasih dengan memberi makan penduduk dengan jenis makanan pada normalnya. Namun itu merupakan sebuah momen yang sangat langka. Langka sekali.

Setelah keheningan itu cukup membuat mereka berdua berlarut, akhrinya mereka memutuskan untuk meninggalkan tempat tersebut. Akan tetapi Ibis menahan Azil.

“Apakah kau tidak merasa lapar, temanku?” Ibis berbisik tepat di sisi samping wajah Azil. Suaranya membelai masuk ke dalam telinga Azil.

“Tentu saja aku lapar.” Jawab Azil ketus saja.

“Apakah kau tidak berpikir untuk menyantap mayat-mayat yang tergeletak di sana?” Ibis menggoda.

“Apa kau sudah gila,” Azil membentak. “Apa kau tak punya hati menyantap daging mayat-mayat itu? Tidakkah kau sadar bahwa mayat itu adalah manusia, sama seperti kita berdua. Keji sekali pikiranmu itu.” Balas Azil sangat tegas dengan nada penolakan keras.

“Bukankah kita yang membunuh mereka berdua? Tidakkah itu perbuatan yang tak kalah keji? Menghabisi manusia, mahluk yang sama dengan kita berdua.” Ibis tertawa penuh aura hitam, persis seperti penjahat dalam sebuah film.

Perdebatan mereka terus berlanjut, sampai ketika Ibis secara tiba-tiba bergerak dengan cepat ke arah salah satu mayat terdekat dan langsung mematahkan salah satu lengan mayat itu. Ibis memakan lengan mayat tersebut. Mentah-mentah. Dengan sangat lahap, ia menghiraukan keberadaan Azil. Darah segar menempel di sekitar bibir Ibis. Gigi-giginya mencabik lengan itu dengan sangat beringas, tak ubahnya seekor singan yang sedang menyatap rusa muda; menggambarkan betapa lapar seorang manusia Bernama Ibis. Suara mulut yang mencabik dan mengunyah beradu dengan suara perut keroncongan Azil. Ia terperanga melihat tingkah sahabatnya itu. Ia tidak percaya Ibis akan melakukan hal tersebut. sedangkan perutnya yang sudah teramat berisik, ikut mendukung tindakan yang dilakukan Ibis.

#01

Scroll to Top